PENUNTUTAN DAN PEMBUKTIAN (Hadist Ahkam))

Selasa, 25 Oktober 2011
PENUNTUTAN DAN PEMBUKTIAN
I. PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang mengajarkan kebaikan untuk umat manusia di bumi ini. Didalamnya hampir mengajarkan semua aspek dalam kehidupan ini. Begitu juga Islam yang mempunyai peraturan-peraturan yang disebut sebagai hokum yang berdasar pada Al-Quran dan hadist. Didalam hokum Islam pasti ada suatu perbuatan yang di larang untuk dilakukan. Salah satunya adalah pembunuhan, apabila ada yang berbuat seperti itu maka hukumannya adalah qisas atau membayar diat.
Dalam makalah ini, pemakalah akan menyampaikan masalah mengenai hadist ahkam yang menjadi dasar dari tuntutan atas pembunuhan dan pengakuan yang dijadikan sebagai alat bukti dalam pembunuhan.
II. PERMASALAHAN
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa masalah mengenai :
A. Tuntutan atas pembunuhan
B. Alat bukti pengakuan dalam pembunuhan
III. PEMBAHASAN
A. Tuntutan Atas Pembunuhan
Hadist yang menyatakan bahwa semua ahli waris korban berhak menuntut atas kematian keluarganya. Seperti hadist dari Amar ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, menerangkan :

عَنْ عَمْرِ وَ بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّ هِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَم « قَضَ أَنْ يَعْقِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ عَصَبَتُهاَ مَنْ كَنُ وْا، وَلاَ يَرِ ثُوْا ِمنْهَا إِلاَّ مَا فَضَلَ عَنْ وَ رَ ثَتِهَا، وَإِنْ قَتَلَتْ فَعَقْلِهَا بَيْنَ وَرَ ثَتِهَا، وَهُمْ يَقْتُلُوْ نَ قَا تِلَهَا » ( راواه الخمسه الأ الترمذ ي )
Artinya :
“Nabi saw. Telah menetapkan: Ashabah seorang wanita berkewajiban membayar diat wanita tersebut, siapapun mereka. Namun ashabah tidak menerima pusaka dari wanita itu, terkecuali harta yang lebih dari bagian pusaka yang diterima olaeh ahli warisnya. Dan jika ia mebunuh, maka diatnya dibagi diantara ahli warisnya, dan ahli waris boleh menuntut qishas [ membunuh si pelaku]”. [H.R Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’I dan Ibnu Majah kecuali Tirmidzi]

Dari Aisyah r.a, menerangkan :

وَعَنْ عَا ئِشَةً أَنَّ رَسُوْ لَ اللهِ صَلَ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَم قَلَ : وَعَلىَ الْمُقْتَتِلِيْنَ أَنْ يَنْحَجِزُوْاالأَوَّلَ فَا الأَوَّلَ وَإِنْ كَا نَتِ امْرَأَ ةً ( راواه أبوا د اود والنسا ئ )
Artinya :
“Rosulullah saw bersabda: Mereka yang saling mebunuh hendaklah menahan diri menuntut qishas dengan cara seorang memberi maaf, dimulai dari kerabat yang terdekat kemudian kerabat yang dekat, walaupun dia seorang perempuan [ H.R Abu Daud dan An-Nasa’i]

Berdasarkan dari hadist-hadist diatas dapat di jalaskan bahwa yang mempunyai hak menuntut atas terbunuhnya sesorang adalah seluruh ahli warisnya, tidak ada perbedaan baik laki-laki maupun perempuan, juga ahli waris karena hubungan nasab [pertalian darah] atau karena hubungan sebab [seperti suami/istri]. Hak qisas itu hak bersama semua ahli waris hal ini karena tidak bisa melaksanakan sendiri haknya sehingga harus digantikan oleh ahli waris yang memiliki hak itu secara bersama-sama yang demikian itu menurut ulama ahli Bait, Syafi’i, Abu Hanifah dan rekan-rekannya.
Tapi Malikiyah mebolehkan wanita sebagai pemilik qisas, apabila terdapat 3 syarat :
a. Wanita itu adalah ahli waris dari korban, seperti anak perempuan atau saudara perempuan [lainya tidak termasuk]
b. Tidak ada ahli waris ashabah yang menyamai tingkatannya dalam kedudukannya sebagai ahli waris, contoh : paman dengan anak perempuan/saudara perempuan, anak laki-laki denagan anak perempuan, saudara laki-laki dengan saudara perempuan. Jika terjadi yang demikian itu maka wanita tersebut tidak berhak memilki qisas.
c. Terdapat ahli waris laki-laki yang sama dengan ahli waris perempuan yang menariknya menjadi ashabah.
Tujuan diadakannya qisas dalam pembunuhan adalah untuk mengobati rasa duka, sedangkan orang yang sudah mati tidak dapat diobati dengan demikian apabila pemiliknya banyak semua ahli waris memiliki hak penuh.

B. Alat bukti pengakuan dalam pembunuhan
Hadist yang menyatakan penetapan hukuman qishas dengan pengakuan / hukuman qishas terhadap mereka yang mengaku berbuat jahat. Seperti hadist dari Abu Hurairah, menerangkan :
يَدُ لُّ عليه ما روى أبو هر يرة رضي الله عنه قا ل : « قتل رجل ي عهد ر سو ل الله صل الله عليه و سلم .فذ فع القا تل إلى و ليه،فقا ل القا تل : يا رسول الله،وا الله ما أرد ت قتله،فقا ل النبي صل الله عليه و سلم » أما إنه إن كا ن صاد قا فقتلته د خلت النار فخلا ه الر جل و كان مكتو فا بنسعة فخرج : يجر نسعته، قا ل فكن يسمى ذاالنسعة ( رواه أبوداودوابن مجه و التر مذى و صحيحه)

Artinya :
Apa yang diriwayatkan Abu Hurairah menunjukkan pada apa [yang di katakana Abu Qutaibah tersebut ]. Abu Hurairah berkata :
Seorang laki-laki telah membunuh [seseorang] di masa Nabi saw., lalu pembunuh itu diserahkan kepada walinya, lalu pembunuh itu berkata kepada Nabi : Ya Rosulullah, Demi Allah aku tidak bermaksud membunuhnya. Kemudian Nabi saw bersabda,”Ingatlah, jika ia [pembunuh] itu benar lalu engkau bunuh dia maka engkau akan masuk neraka”. Maka laki-laki itu melepaskannya, sedang ia dalam keadaan terikat lehernya dengan tali, lalu iapun keluar sambil menyeret talinya itu. Abu Hurairah berkata : Maka orang itu digelari sebagai dzun nis’ah [orang yang mempunyai tali leher]. [H.R Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi dan Tirmidzi yang mengesahkanya]

Dari hadist di atas ada beberapa penjelasan apabila si pelaku menyatakan ikrar [pengakuan], itu sudah cukup mebebaskanya dari hukuman qisas. Ikrar itu dipandang cukup dilakukan oleh si tertuduh, apabila pengakuan itu di anggap benar dan tak ada halangan apapun dalam dia memberikan pengakuan. Dari hadist di atas menurut para ulama tentang perkataan “ jika laki-laki itu membunuhnya maka iapun seperti orang yang di bunuh” jadi di dalam hadist itu di ceritakan bahwa nabi berkata demikian bertujuan memberi dorongan kepada laki-laki itu supaya memberi maaf sendirian, jika ia membunuhnya maka iapun sama seperti orang yang dibunuhnya itu didalam dosanya agar ia mau memaafkan, tapi ada juga yang berpendapat bahwa maksud Nabi saw bahwa apabila ia membunuh seperti membunuh yang pertama, hanya yang pertama pembunuhan secara dzalim dan yang kedua pembunuhan dalam rangka qisas. Dan hadist Wa’il ini dijadikan dalil oleh mushannif [Ibnu Taimiyah], bahwa hukuman qisas dapat ditetapkan dengan pengakuan dari pelaku kejahatan.






IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat diambil simpulan bahwa :
 Yang mempunyai hak menuntut atas terbunuhnya sesorang adalah seluruh ahli warisnya, tidak ada perbedaan baik laki-laki maupun perempuan, juga ahli waris karena hubungan nasab [pertalian darah] atau karena hubungan sebab [seperti suami/istri]
 apabila si pelaku menyatakan ikrar [pengakuan], itu sudah cukup mebebaskanya dari hukuman qisas
 hukuman qisas dapat ditetapkan dengan pengakuan dari pelaku kejahatan.


V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat penulis sampaikan, tentunya dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan di dalam penulisan atau kekeliruan dalam penyampaian penulis mohan maaf yang sebesar-besarya. Maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan. Dan akhirnya mengharapkan supaya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amien.



DAFTAR PUSTAKA
As-shidieeqy, Hasbi.2001.Koleksi Hadis-Hadis Hokum 9.Semarang: PT. Pustaka Rizki Putera
Hassan, Qadir.dkk.1984.Terjemahan Nailul Authar [himpunan hadis-hadis hokum] jilid 5.Surabaya: PT. Bina Ilmu

0 komentar:

Posting Komentar