SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT

Selasa, 25 Oktober 2011
I. Pendahuluan
Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.maka tiap bangsadi dunia ini memiliki adat kebiasan sendiri – sendiri yang satu dengan yang lainya. Peraturan – peraturan adat istiadat sudah terdapat pada zaman dahulu dari sebelum zaman kompeni tetapi sebelum tahun 1602 tidak diketemukan catatan ataupun tidak terdapat perhatian terhadap hukum adat kita dari orang – orang asing.
Dalam zaman kompeni barulah bangsa asing mulai menaruh perhatian terhadap adat istiadat kita. Ada yang mencurahkan perhatianya itu sebagai perseorangan,jabatanya,ataupun orang yang mendapat tugas dari penguasa kolonial pada saat itu.

II. Permasalahan
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa masalah mengenai hukum adat :
a. Zaman Kompeni
b. Zaman Daendles
c. Zaman Raflles
d. Zaman Kolonial Belanda
e. Masa Menejelang Tahun 1848
f. Masa Tahun 1848 – 1927

III. Pembahasan
A. Zaman kompeni (1620-1800)
Kompeni (VOC) adalah pada hakikatnya suatu perseroan dagang. Oleh karena itu, mudah dimengerti bahwa kompeni hanyalah mengutamakan kepentingan sebagai badan perniagaan. Dengan demikian maka bangunan hukum adat yang hingga saat itu sudah ada didaerah-daerah yang jauh dibiarkan saja sehingga hukum rakyat tetap berlaku.
Baru apabila kepentingan kompeni terganggu, maka kompeni akan menggunakan kekuasaannya.. hal ini berakibat bahwa sikap kompeni terhadap hukum adat adalah tergantung pada keperluan saat itu (politik opportunieteit).
Semula kompeni membiarkan hukum adat berlaku seperti sediakala tetapi pengurus kompeni di negeri Belanda (Heren XVII) menetapkan dengan perintah tertanggal 4 maret 1621 yang mengharuskan hukum sipil belanda diperlakukan di dalam daerah yang dikuasai oleh kompeni.
Pemerintah pengurus kompeno tersebut diatas baru pada tahun 1625 oleh Gubernur Jenderal De Carpentier akan dipenuhi akan tetapi dengan syrat jika sekiranya dapat dilakukan di negeri ini dan jika menurut keadaan di negeri ini dapat dilakukan.
Dengan diadakan syarat-syarat tersebut diatas tersimpul kemungkinan untuk tidak memperlakukan hukum Belanda jika kedaan memaksa.

B. Zaman Deandels (1808 – 1811)
selama pemerintahan Daendels boleh dikatakan segala hukum penduduk tetap tinggal seperti sedia kala dan umumnya dilakukan untuk bangsa bumi putera hukumnya sendiri serta acara hukum yang biasa dipakainya engan pengertian, bahwa guna pengusutan sesuatu perkara pidana tidak lagi diperlukan adanya dakwaan orang yang menjadi korban atau keluarganya serta tentang hukumannya diperbolehkan menyimpang dari hukum adat.
Jadi pada zaman Deandels umumlah anggapan hukum adat lebih rendah derajatnya dari pada hukum eropa dan hukum adat terdiri dari hukum Islam. Meskipun demikian Deandels mempunyai pengertian tentang desa sebagai persekutuan. Tentang landrente raja-raja di Banten ia ingin mengubahm di cobanya mencarai dasarnya pajak itu menurut adat Deandles rupa-rupanya mengetahui hal panjer dalam hukum acara adat. Dan pada tahun 1808 (september) ia mengumumkan keinginannya memberi pengajaran kepada anak-anak diseluruh pesisir tanah jawa dimasukan juga adat istiadat orang jawa.

C. Zaman Raffles (1811 – 1816)
tindakan pertama yang dilakukan oleh raffles adalah dibentuknya panitia Mackenzie untuk mengadakan penyelidikan terhadap masyarakat Indonesia di pulau jawa. Buah pekerjaan panitia ini akan dijadikan dasar untuk mengadakan perubahan-perubahan yang pasti yang akan menentukan bentuk susunan pemetintahannya lebih lanjut. Setelah panitia Mackenzie selesai peketjaannya tanggal 11 febuari 1814 Raffles mengumumkan proklamasi “Regulation for the more effectual adminitrastion of justice in the provincial court of java”. Yang terdiri dari 173 pasal. Dasar pertauran ini adalah residen menjadi Chief Judge dan Magisterate dalam daerahnya dan para bupati serta pejabar pemerintahan lainnya berada di bawah pengawasannya. Juga ditetapkan adanya peradilan bertingkat yang susunannnya sebagai berikut Devision's Court dikepalai oleh Wedana, Bopati's Court dikepalai oleh Bupati. Resident's Court Dikepalai oleh Residen.
D. Zaman kolonial belanda
setelah raffles datang zaman commissie general (1816-1819) pada pokoknya komisi general tetap melakukan hukum adat terhadap bangsa Indonesia seperti jaman Raffles sikap yang demikian ini bukan karena keinsyafannya terhadap hukum adat tetapi seperti Van Colen haven menulis dalam bukunya (De Ontdekking van het Adatrecht” halaman 58. dalam tahun 1819 orang menahab pertanyaan (terhdap hukum adat), hingga kirab hukum undang-undang di negeri Belanda ditetapkan.
Van Der Caoellen yang menjadi gubernur Commissie General dalam tahun 1824 mengumumkan untuk sulawesi selaran di mana hukum adat sama sekali tidak mengdapatkan perharian.
Du Bus mempunyai pengertian bahwa hukum adat ialah hukum Indonesia asli.
Van den Bosch mengatakan bahwa waris itu dilakukan menurut hukum islam serta hak atas tanah campuran antara peraturan Bramien dan Islam.

E. Masa menjelang tahun 1848
untuk petama kalinya hukum adat mendapat sorotan sebagai maslah hukum oleh pemerintah belanda di negerinya adalah pada saat pengangkatan Mr. G. C Hageman sebagai ketua mahkamah agung pada pemerintah kolonial belanda dahulu..
pada hageman ditugaskan istimewa untuk mengadakan pemeriksaan yang sengaja dan selekas-lekasnya sedemikian rupa, agar undang-undang umum yang ditetapkan kerajaan belanda sedapat-dapatnya juga diperlakukan di Indonesia.
Untuk mempersiapkan tercapainya maksud meyesuaikan hukum yang berlaku di Indonesia dengan hukum baru di Negeri Belanda, maka dibentuk suatu panitia oleh Gubernur Henderal pada tanggal
31 Oktober 1837 yang diketuai oleh MR. C. J. Scholten Van Oud Haarlem, panitia ini dibubarkan karena Scholten sakit dan pulang ke Belanda. Tapi tahun 1938 Scholten ditunjuk lagi untuk mengetuai sebuah panitia yang dibentuk di Negeri Belanda serta yang bertugas untuk mengadakan rencana yang perlu agar hukum-hukum negeri belanda yang baru dapat diperlakukan di Indonesia serta mengusulkan hal-hal yang dianggap penting berhubungan dengan yang tersebut diatas.
Menurut Van Vollenhoven bahwa Scholten dari permulaan bermaksud tidak akan menodai hukum adat sipil. Sebagai ketua Secholten berpendapat bahwa hukum bangsa indonesia terhindar dari berlakunya asas persamaan hukum yang temaktup dalam pemerintahan belanda.
F. Masa Tahun 1848 – 1927
suasana sekitar tahun 1848 adalah sangat dikuasai oleh pemujaan nilai dan kepentingan kodifikasi inilah sebab utama adanya permulaan untuk mengganti hukum adat.
Apabila secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah belanda dinegerinya sendiri maupun pemerintah kolonial di indonesia adalah sebagai berikut,
usaha ke-1 Mr. Wichers, presiden mahkamah agung pada saat itu menyelidiki apakah hukum adat prifat tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi barat, rencana itu gagal karena hukum barat tidak cocok dengan perhubungan hukum sederhana bangsa Indonesia.
Usaha ke-2 sekitar tahun 1870 Van Der Putte, menteri jajahan belanda mengusulkan penggunaan hukum tanah eropa bagi indonesia untuk kepentingan agraria belanda, usaha ini gagal karena belanda menuntut adanya penyelidikan lokal tentang hak-hak penduduk terhadap tanah.
Udaha ke-3 pada tahun 1900, cremer menteri jajahan, menghendaki adanya kodifikasi lokal untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan penduduk beragama kristen. Usaha ini pun gagal lagi karena ketiadaan jaminan hukum bagi penduduk yang beraga kristen.
Usaha ke 4, kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undang-undang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum eropa. Usaha ini gagal karena parlemen belanda menerima amandemen Can Idsinga yang mengizinkan penggantian hukum adat dengan hukum barat jika kebutuhan sosial rakyat menghendaki.
Usaha ke 5 pada tahun 1914 belanda dengan tidak menghiraukan amandemen idsinga, mengumumkan rencana KUH perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia. Rencana ini gagal karena tidak di ajukan di parlement belanda.
Sebab kegagalan semua usaha tersebut adalah bahwa tidak mungkin bangsa Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari penduduk disesuaikan dengan kebutuhan bangsa eropa yang hanya bagian kecil saja.
Konsopsi van vollenhoven yang isinya meganjurkan diadakanya pencatatan-pencatatan yang sistematis dari pengertian-pengertian hukum yang sesungguhnya dari penduduk, daerah hukum demi daerah hukum, tetapi didahuli dengan penelkitian dan penyelidikan yang di pimpin oleh para ahli.
Tujuan ini adalah untuk memajukan ketentuan hukum dan untuk membantu hakim yang harus mengadili menurut hukum adat. Konsepsi yang di perjuangkan oleh van vollenhoven ini di sokong dan di benarkan oleh dua haln yaitu:
a. pengalaman-pengalaman yang pahit bertahun-tahun lamanya, bahwa memaksakan hukum barat dari atas selalu gagal.
b. Selalu berkembangnya pengertian akan pentingnya hukum adat dalam lingkungan penduduk bangsa Indonesia.
Akhirnya pada tahun 1927 konsepsi van vollenhoven ini di terima. Dan politik pemerintah belanda sejak itu sampai pendudukan jepang pada tahun 1942, ditandai dengan suatu langkah kembali secara teratur kearah dualisme. Dualisme yang menurut damson Arthur schiller dalam buku mereka “adat law in Indonesia”disebut dualisme yang progresip (enlightened dualism).
Mr. B. Ter Haar, mrid van vollenhoven, melanjutkan perjuangan gurunya serta berusaha supaya hukum adat dipertahankan dan dilaksanakn sebagai hal yang sangat sesuai bagi kebutuhan masyarakat bangsa Indonesia dalam kedudukannya sekarang. Pandangan ter haar inoi khususnya tertuju kepada penduduk tani dalam masyarakat-masyarakat agraria. Hubungan-hubungan hukum dalam bidang agraria ini memang sebagian besar diatur oleh hukom adat.
Pencatatan hasil-hasil dari penyelidikan yang dilakukan oleh para ahli harus diterangkan seteliti-telitinya supaya ada jaminan hukum yang lebih besar dan akhirnya juga untuk membantu hakim yang hrus menggunakan hukum adat yang tidak tertulis.
Politik hukum adat semenjak tahun 1927 setelah konsepsi von vollenhoven diterima menghendaki juga re-organisasi system pengadilan.

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN DASAR-DASAR FIQH MAWARIS

I. Pendahuluan
Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw merupakan sebuah aturan yang lengkap dan sempurna, yang mengatur segala aspek kehidupan untuk keselamatan dunia dan akhirat.
Salah satu syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
Hukum waris yaitu segala jenis harta benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah dan sebagainya.
Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dengan sebaik-baiknya. Alquran menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Pembagian masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada ketentuannya dalam Alquran.

II. Pembahasan
1. Pengertian Fiqh Mawaris
Mawaris secara Etimologis adalah bentuk jamak dari kata tunggal maris artinya warisan. Dalam hukum islam dikenal adanya ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan, dan ahli waris yang tidak berhak menerimanya. Istilah fiqh Mawaris dimaksudkan ilmu fiqh yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya. Fiqh Mawaris, disebut juga ilmu faraid bentuk jamak dari kata tunggal faridah artinya ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci di dalam al-Qur’an.
Secara terminologi fiqh mawaris adalah fiqh atau ilmu yang mempelajari tenteng siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara penghitungannya.
Mawaris juga disebut fara’id, bentuk jama’ dari فرد. Kata ini berasal dari kata فرد. Yang aritnya ketentuan atau menentukan. Kata farida ini banyak juga disebutkan didalam al quran surat at tahrim ayat 2yaitu :
     
Artinya : Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu.
Dengan pengertian diatas dapat ditegaskan bahwa pengertian fiqih mawaris adalah fiqh yang mempelajari tentang siapa-siapa orang yang termasuk ahli waris, bagian-bagian yang diterima mereka, siapa-siapa yang tidak termasuk ahli waris, dan bagaimana cara penghitungannya.

2. Bebrapa istilah dalam fiqh mawaris :
a) Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
b) Muwaris adalah orang yang diwarisi harta peninggalannya, yaitu orang yang meninggal dunia. Baik meninggal secara hakiki, takdiri, atau melalui keputusan hakim.
c) Al ‘irs adalah harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah.
d) Tirkah adalah semua harta peninggalan orang yang meninggal sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran utang dan pelaksanaan wasiat.

3. Sebab-sebab pewarisan pada zama jahiliyah :
a) Adanaya Pertalian Kerabat (Al Qorabah )
pertalian kerabat yang menyebabkan ahli waris dapat menerima warisan adalah meraka laki-laki yang kuta fisiknya. Pertimbangannya adalah meraklah yang secara fisik kuat memanggul senjata., menghancurkan musuh, demi kehormatan suku dan marga mereka. Implikasinya, wanita dan anak tidak mendapat waris karena kedua golongan yang terakhir ini tidak sanggup melakukan tugas-tugas peperangan, dan lebih dari itu mereka dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu kerabat yang dapat menerima waris pada zaman jahiliyah adalah :
- anak laki-laki
- saudara laki-laki
- paman
- anak laki-laki paman
b) Janji Prasetia (Al Hilf Wa Al Muaqodah)
Janji prasetia dijadikan dasar pewarisan pada masarakat zaman jahiliyah. Karena melalui perjanjian ini, sendi-sendi martabat dan kesukuan dapat dipertahankan. Janji prasetia ini dapat dilakukan oleh dua orang. pelaksanaannya. Sesesorang berikrar kepada orang lain untuk saling mewarisi, apabila salah satu diantara mereka meninggal dunia. Tujuannya untuk kepentingan tolong menolong, nasehat menasehati dan saling mendapatkan rasa aman. Karena itu, janji prasetia hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang telah dewasa dan cakap melakukannya.
Adapun isi janji prasetia adalah :
“Darahku darahmu, perumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuananku perjuanmu, perangku perangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku merawisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut darahku karenamu dan diwajibkan denda sebagai pengganti nyawaku, akupun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu.”
Cara-cara perjanjian tersebut juga diakomodasi oleh al Quran, dalam surat an-nisa’ ayat 33 :
              ... 
Artinya : Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Ayat tersebut tampak masih menyetujui atau melegalisasi janji prasetia sebagai dasar hukumsaling mewarisi diantara pihak-pihak yang melakuakn perjanjian. Akan tetapi hanya sebagaian ulama’ hanafiyah saja yang tatap memberlakukan ketentuan hokum, menurut isi ayat tersebut. Alasannya yang dikemukakan adalah, tidak ada ayat lain yang menghapusnya.
c) Pengangkatan Anak (Al Tabanni) Atau Adobsi
Dalam tradisi masyarakat jahiliyah, pengangkatan anak merupakan perbuatan hukumyang lazim. Setatus anak angkat disamakan kedudukannya dengan anak kandung. Caranya, sesorang mengambil anak laki-laki orang lain untuk dipelihara dan dimasukkan kedalah keluarga bapaknya. Karena setatusnya sama dengan anak kandung, maka terjadi hubungan saling mewarisi jika salah satu meninggal dunia, lebih dari itu, hubungan kekeluargaannya terputus dan oleh karenanya tidak bias mewarisi harta peninggalan ayah kandungnya. Anak angkat bukan saja setatus hukumnya sama dengan anak kandung, tatapi juga perlakuan, pemeliharaan dan juga kasih sayangnya. Untuk selanjutnya pengankatan anak ini berlaku sampai awal-awal Islam.

4. sebab-sebab pewarisan pada masa awal islam
a. pertalian krabat
b. janji prsetia
c. pngangkatan anak
d. hijrah dari makah kemadinah
e. ikatan persaudaraan (al muakhah) antara orang-orang muhajirin pendatang dan orang-orang ansor (penolong) dimadinah.

5. Dasar-dasar hukum pewarisan islam :
a. Ayat Al Quran (An Nisa’ : 7-14, 33, 176, Al Anfal : 75 )
1) Q.S An Nisa’ : 7
             •      • 
Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

2) Q.S An Nisa’ : 8
            • 
Artinya : Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat[270], anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.
3) An Nisa’ : 9
•               
Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.

b. Sunnah Nabi
Hadis nabi Muhammad SAW yang secara langsung mengatur pewarisan adalah :
1) hadis nabi dari Ibnu Abbas
“Berikanlah fara’id (bagian-bagian yang ditentuakan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturuan laki-laki yang terdekat. “

6. Asas-asas hukum pewarisan Islam antara lain :
a. Asas Ijbari
Dalam hokum islam pemeliharaan harta dari orang yang meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Cara pemeliharaan ini disebut ijbari.


b. asas bilateral
membicarakan asas ini berarti berbicara kemana arah peralihan harta itu dikalangan ahli waris. Asas bilateral dalam pewarisan mengandung arti bahwa harta waris beralih kepada atau melalui dua arah hal ini berarti bahwa setiap orang yang menerima harta warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
c. asas individual
hokum islam mengajarkan asas pewarisan secara individual, dengan arti bahwa harta waris dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan, masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara sendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.
d. asas keadilan berimbang
Dalam ubungannya dengan hak menyangkut materi, khusunya dengan menyangkut perasin, kata trsbut dapat di artikan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antra yang diperoleh dengan kegunaan.
e. Asas semata akibat kematian
Asas ini berarti bahwa harta serang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunya arat masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seorang yang masih hiddup baik seca ralangsung maupun teraksana setelah dia mati, tidak termasuk kedalam istiha kewarisn menurut hokum islam dengandemikian hokum pewrisan islam mengenal satu bentuk pewarisan akibat kematian semata atau yang dalam ukum perdata atuau BW disebut dengan kewarisan abintestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasit yang diuat pada watu masih hidup yang disebut kewarisan bij testamen.


III. Kesimpulan
• Fiqh mawaris adalah fiqh atau ilmu yang mempelajari tenteng siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara penghitungannya.
• Beberapa istilah dalam fiqh mawaris : Waris, Muwaris, Al ‘irs, Tirkah.
• Sebab-sebab pewarisan pada zama jahiliyah :
a) Adanaya Pertalian Kerabat (Al Qorabah )
b) Janji Prasetia (Al Hilf Wa Al Muaqodah)
c) Pengangkatan Anak (Al Tabanni) Atau Adobsi
• Dasar-dasar hukum pewarisan islam :
a) Ayat Al Quran (An Nisa’ : 7-14, 33, 176, Al Anfal : 75 )
b) Sunnah Nabi : hadis nabi dari Ibnu Abbas
• Asas-asas hukum pewarisan Islam antara lain :
a) Asas Ijbari
b) asas bilateral
c) asas individual
d) asas keadilan berimbang
e) Asas semata akibat kematian

IV. Penutup
Demikianlah makalah ini kami buat , dan tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karna kami hanyalah manusia biasa yang tidak pernah lepas dari kehilafan. Kami sadar ini adalah proses dalam menempuh pembelajaran ,untuk itu kami berharap kritik serta searan yang bisa membangun demi kesempurnaan makalah kami berikutnya . harapan kami semoga makalah ini dapat dijadikan sebuah kontribusi yang berarti dalam dunia pendidikan kami .amin

Daftar Pustaka
Dr. Ahmad rofiq, MA. Fiqh Mawari Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja Garafindo Pesada 2002.
Prof. dr. amir syarifuddn. Hukum Kewarisan Islam. Jakrata: perenada 20004.
Drs. Ahmad rofiq. MA. Fiqh mawaris. Jakarata: Raja Grafindo Pesada. 1994
Drs. M. ali hasan. Hukum waris dalam islam. Jakarta: bulan bintang. 1979

SISTEM PERADILAN HAM

SISTEM PERADILAN HAM
I. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dianugerahi hak-hak asasi dalam rangka menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. Dalam perwujudannya, manusia wajib menghormati hak-hak yang melekat pada dirinya dan orang lain dengan penuh ketaqwaan dan tanggungjawab menuju keharmonisan kehidupan antar sesama manusia dan manusia dengan lingkungannya.
Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak dasar yang melekat pada diri manusia bersifat universal dan abadi, sehingga harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun, kecuali oleh Undang-undang atau Putusan Pengadilan.
Setiap negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tugas dan tanggungjawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang HAM dan instrumen-instrumen HAM lainnya yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, wajib melindungi, menegakkan dan memajukan HAM.
Untuk memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman kepada perorangan atau masyarakat, perlu dibentuk suatu Pengadilan HAM. Dengan adanya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diharapkan dapat melindungi hak asasi manusia, baik perseorangan maupun masyarakat dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman bagi perseorangan maupun masyarakat terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

II. Permasalahan
Dengan adanya latar belakang diatas beberapa permasalahan yang perlu disampaikan tentang sistem peradilan HAM, diantaranya adalah sebagai berikut:
A. Pengertian-pengertian yang bersangkutan dengan HAM
B. Penjelasan tentang peradilan HAM

III. Pembahasan
A. Pengertian-pengertian yang bersangkutan dengan HAM
a. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
b. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang tentang HAM, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
c. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang PengadilanHAM
d. Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat.
e. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi hak asasi manusia
f. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rokhani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga. atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.
g. Penghilangan orang secara paksa adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaannya dan keadaannya.

B. Penjelasan tentang Pengadilan HAM
a. Karakteristik
Pengadilan HAM adalah Pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Dua belas karateristik yang terkandung dalam UU Pengadilan Hak Asasi Manusia, yakni:
a. Yurisdiksi Pengadilan HAM mencakup luar batas teritorial wilayah negara Rl;
b. Untuk hal-hal tertentu, hukum formal yang diberlakukan tidak mengikuti KUHAP, tetapi diatur tersendiri dalam UU Pengadilan HAM itu;
c. Penyelidikan dilakukan Komnas HAM;
d. Adanya ketentuan mengenai tim penyelidik ad.hoc, yang keanggotannya terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat;
e. Kewenangan penyidikan dan penuntutan berada pada Jaksa Agung. Namun dalam melakukan penyidikan dan penuntutan tersebut, Jaksa Agung mengangkat penyidik ad.hoc dan penuntut ad.hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat;
f. Pemeriksaan pada tingkat pengadilan HAM, pengadilan tinggi HAM, ataupun Mahkamah Agung, dilakukan Majelis Hakim yang berjumlah lima orang. Mereka terdiri atas dua hakim dari setiap tingkat pengadilan yang bersangkutan dan tiga orang hakim ad.hoc;
g. Proses penyelesaiannya, baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan sidang pengadilan,. diberi tenggang waktu yang ketat;
h. Adanya ketentuan mengenai perlindungan hukum bagi korban dan saksi dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat;
i. Sistem pemidanaannya berbeda dengan yang ada dalam KUHAP, UU HAM mematok pidana penjara paling lama 25 tahun.
j. Ditentukannya pengadilan HAM ad.hoc untuk memeriksa dan memutuskan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM.
k. Peran vital DPR, sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 ayat (2) yakni Pengadilan HAM ad.hoc dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul DPR.
l. Asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi HAM itu sendiri berdasarkan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.

b. Jenis pelanggaran HAM berat
1) Kejahatan genosida.
Adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa. ras, kelompok etnis, kelompok agama. dengan cara:
a) Membunuh anggota kelompok;
b) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
2) Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa "serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil" (suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan yang berhubungan dengan organisasi), berupa:
a) Pembunuhan (sebagaimana tercantum dalam Ps. 340 KUHP);
b) Pemusnahan (meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan M-kelompok ras lain dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu).

c. Sebab-sebab pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM dapat disebabkan oleh 4 (empat) hal:
a) Kesewenangan (abuse of power) yaitu tindakan penguasa atau aparatur negara terhadap masyarakat di luar atau melebihi batas-batas kekuasaan dan wewenangnya yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan.
b) Pembiaran pelanggaran HAM (violation by ommission) yaitu tidak mengambil tindakan atas suatu pelanggaran HAM.
c) Sengaja melakukan pelanggaran HAM (violation by commission).
d) Pertentangan antar kelompok masyarakat.

d. Prosedur penyelesaian pelanggaran HAM berat.
1) Penyelidikan
a) Dilakukan oleh Komnas HAM.
b) Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan dapat membentuk tim ad-hoc yang terdiri atas :
1) Komnas HAM; dan
2) Unsur masyarakat.
c) Dalam hal Komnas HAM berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup (bukti permulaan untuk menduga adanya tindakan pidana bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat), telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyelidik.
d) Tetap berlaku asas praduga tak bersalah.
e) Penyebarluasan keterangan atau bukti lain yang diperoleh Komnas HAM dapat ditetapkan untuk dirahasiakan atau dibatasi dengan pertimbangan:
(1) membahayakan keamanan dan keselamatan negara;
(2) membahayakan keselamatan dan ketertiban umum;
(3) membahayakan keselamatan perorangan;
(4) mencemarkan nama baik perorangan;
(5) membocorkan rahasia negara atau hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses pengambilan keputusan Pemerintah;
(6) membocorkan hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan suatu perkara pidana;
(7) menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada; atau
(8) membocorkan hal-hal yang termasuk dalam rahasia dagang.
f) Penyidikan
1) Dilakukan oleh Jaksa Agung;
2) Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad-hoc yang terdiri atas:
(1) Unsur pemerintah; dan atau
(2) Masyarakat.
3) Penuntutan
a) penuntutan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
b) Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum Ad Hoc yang terdiri atas:
(1) Unsur pemerintah; dan atau
(2) Masyarakat (diutamakan diambil dari mantan penuntut umum di Peradilan Umum atau Peradilan Militer).
4) Pengadilan
1. Pengadilan HAM berkedudukan di daerah Kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
2. Pengadilan HAM berwenang "memeriksa dan memutus" (termasuk menyelesaikan perkara yang menyangkut kompensasi, restitusi dan rehabilitasi) pelanggaran HAM berat, berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan diluar batas teritorial wilayah negara Rl oleh warga negara Indonesia (ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara Indonesia yang melakukan pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan HAM). Namun demikian, tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan (diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri).
3. Pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkan-nya UU Pengadilan HAM (UU No.26/2000), diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad/hoc. yang dibentuk atas usul DPR berdasarakan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden (dalam hal DPR mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad/hoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM).
4. Pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM tidak menutup kemungkinaci penyelesaian-nya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dibentuk dengan UU (ketentuan ini untuk memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran HAM berat, dilakukan di luar Pengadilan HAM).
5. Penyelesaian Pelanggaran HAM selain pelanggaran HAM berat. (Kriminal biasa)
6. Dalam hubungan ini, semua kejahatan yang bukan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, diselesaikan melalui pengadilan umum sesuai dengan hukum acara yang berlaku diperadilan umum.

IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa :
 Beberapa pengertian tentang HAM yaitu Hak Asasi Manusia (HAM), Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Penyiksaan, Penghilangan orang secara paksa.
 Penjelasan tentang sistem peradilan HAM yaitu
a) Karakteristik
b) Jenis pelanggaran HAM berat
c) Sebab-sebab pelanggaran HAM
d) Prosedur penyelesaian pelanggaran HAM berat.
e) Penyelesaian Pelanggaran HAM selain pelanggaran HAM berat. (Kriminal biasa)


DAFTAR PUSTAKA

 Fauzan,ahmad.2005.Perundang – undangan lengkap tentang peradilan umum,khusus dan Mahkamah Konstitusi.Jakarta: Kencana
 effendi,masyhur.1980.Tempat HAM dalam hukum internasional dan nasional.Bandung: Alumni
 Mahendra,Yusril.1996.Dinamika Tata Negara Indonesia.Jakarta : Gema Insani Pers
 howar,rhoda.2000.Hak Azasi Manusia.Jakarta : Pustaka Utama Grafiti

KETENTUAN HUKUM TENTANG MEMBUNUH SEORANG MUSLIM, MUKMIN DAN ORANG-ORANG YANG TERGABUNG DALAM PERJANJIAN DAMAI DENGAN KAUM MUSLIMIN

I. PENDAHULUAN
An – Nisa’ ayat 92 – 93

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿92﴾ وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا ﴿93﴾
Artinya: dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)], dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
93. dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.


PENAFSIRAN An – Nisa’ ayat 92 - 93 DENGAN METODE IJMALIY :
Adalah tidak layak bagi orang mu'min membunuh orang mu'min yang lain, kecuali jika suatu kesalahan dan tidak sengaja. Barangsiapa yang membunuh orang mu'min dengan tidak sengaja, hukumannya ialah memerdekakan seorang hamba sahaya yang mu'min serta membayar diyah Diyah ialah semacam pembayaran denda karena sesuatu tindak pidana melenyapkan jiwa dsb., yang diserahkan kepada keluarga si korban. Kecuali jika keluarga si korban merelakan Tidak mau menerimanya dan menganggapnya sebagai bersedekah.. Dan kalau yang terbunuh itu dari pihak musuhmu, tetapi ia beriman hendaklah si pembunuh memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan kalau yang terbunuh itu dari kaum yang telah mengikat perjanjian damai denganmu, hendaklah si pembunuh membayar diyah (1/3 diat orang mukmin (nasrani) dan 1/15 diat orang mukmin (majusi) yang diserahkan kepada keluarga si korban, serta memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperoleh hamba sahaya yang beriman itu, hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut Berturut-turut maksudnya terus-menerus tidak boleh absen. Jika terjadi absen hendaklah diulang kembali dari permulaannya., sebagai syarat penerimaan taubat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana.
Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka hukumannya ialah jahanam. Kekal ia di dalamnya. Allah memurkai dan mengutuknya serta menyediakan siksa yang besar baginya.
PENAFSIRAN An – Nisa’ ayat 92 - 93 DENGAN METODE TAHLILY :
An – Nisa’ ayat 92
Allah berfirman : “tidak layaklah bagi seorang mukmin membunuh sesame saudara mu’minnya dengan alasan apapun kecuali karena tersalah (tidak sengaja) .adapun sebab turunya ayat ini, Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Al-Harts Bin Yazid dari suku bani ‘Amr Bin Lu’ay beserta Abu Jahal pernah menyiksa ‘Iyasy Bin Abi Rabi’ah,pada suatu hari Al-Harts hijrah kepada nabi SAW dan bertemu dengan ‘Iyasy di kampung Al-Harrah. ‘Iyasy seketika itu mencabut pedangnya dan langsung membunuh Al-Harts yang dikira masih bermusuhan (belum masuk islam). Kemudian ‘iyasy menceritakan kepada nabi SAW,maka turunlah ayat ini.
Allah berfirman bahwa barang siapa membunuh seorang mukmin karena khilaf dan tidak sengaja,maka ia di bebani 2 kewajiban : membayar kaffarat, yaitu penebus dosa.kaffarat yang harus di byar ialah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diat (gnti rugi ) yang harus di serahkan kepada keluarga yang terbunuh.Pembayarannya di tanggung “aqilah” yaitu seluruh keluarga pembunuh dan kaumnya,bukan semata – mata dibebankan kepada si pembunuh pri badi atau istri,anak / ayahnya.
Allah berfirman bahwa diat yang harus di bayar oleh kaum si pembunuh,hendaklah di bayarkan kepada keluarga si terbunuh,kecuali kalau mereka bersedekah yaitu membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat. Dan jika oaring yang di bunuh karena tersalah itu, seorang mu’min,tetapi ia termasuk warga kaum yang memusuhi kamu,maka tidak di wajibkan membayar diat,hanya kaffarat yang harus di lakukan yaitu memerdekakan seorang hamba sahaya yang mu’min.akan tetapi jika diantara kamu dan kaum yang terbunuh itu ada perjanjian damai,maka hendaklah kepada keluarga si ternuh memberikan diat di samping memerdekakan seorang hamba sahaya sebagai kaffarah.
Allah berfirman, bahwa barangsiapa tidak dapat memerdekakan seorang hamba sahaya,karena tidak mempunyai hamba, atau tidk memperoleh hamba sahaya yang beriman atau tidak mampu membelinya untuk memerdakakannya maka sebagai kaffart pengganti ialah ia harus ber[uas 2 bulan berturut – turut untuk penerimaman tobat dari allah atas dosa pembunuhan yang di lakukannya itu,dan Allah maha Mengetahui lagi maha bijaksana. Puas 2 bulan berturut – turut sebagai kaffarah itu tidak boleh terputus seharipun tanpa udzur.Dan jika terjadi yang demikian maka ia harus mengulanginya dari awal.kecuali kalau terputusnya puasa 2 bulan itu di karenakan udzur,sakit,haid,nifas,dsb.

An – Nisa’ ayat 93 :
Allah menerangkan hukumnya pembunuhan yang di lakukan dengan sengaja / membunuh seorang mukmin dengan sengaja,maka balasanya adalah murka Allah dan laknatNya serta neraka jahanam dan kekal di dalamnya. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini diturunkan dengan berkenaan seorang ansor yang membunuh Miqyas Bin Shahabah. Oleh nabi SAW dibayarkan diatnya (denda) kepada Miqyas tetapi setelah ia menerima diatnya dia menerkam pembunuh adiknya dan membunuhnya, maka bersabdalah nabi SAW : ”Aku tidak menjamin keselamatan jiwanya,baik dibulan halal ataupun di bulan haram”. Miqyas terbunuh dalam perang fatkhu makkah, ayat ini merupakan dasar hokum qisas. Membunuh seorang dengan sengaja merupakan dossa besar yang di sebutkan dalam berbagai firmanya di sejajarkan dengan dosa syirik. Karena itu Allah mengancam dengan hukuman berat dan di sediakan siksa yang mengerikan gi pelakunya.allah berfirman dalam surat al – furqaan : 68

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا ﴿68﴾
Artinya :
Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya),
Di samping ayat al quran terdapt pula hadist – hadist yang mengharamkan membunuh sesame manusia dan mengancamnya dengan hukuman yang berat dan siksaan yang mengerikan.di antanya yang di riwayatkan oleh bukhori dan muslim dari ibnu mas’ud,bahwa rosulullah,bersabda ;


اَوَّ لُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّا سِ يَوْمَ القِيَا مَةِ فِى الدِّ مَاءِ
Artinya :
“Perkara yang pertama di adili di hari kiamat di antara sesame manusia ialah yang mengenai darah (pembunuhan)”
Di riwayatkan oleh imam ahmad dari muawiyah bahwa rosulullah bersabda :

كُلُّ ذَنْبٍ عَسَى ا للهُ اَنْ يَغْفِرُهُ اِلاَّ الرَّجُلَ يَمُوْتُ كَا فِرًا اَوِالرَّجُلُ يَقْتُلُ مُؤْ مِنًا مُتَعَمِّدًا
Artinya :
Segala dosa Allah dapat mengampuninya kecuali yang mati dalam keadaan kafir dan orang yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja.
Menurut para jumhur ulama dan ahli tafsir bahwa pintu tobat tetap erbuka bagi orang yang melakukan pembunuhan dalam hubunganya antara dia dan Allah jika ia bersungguh – sungguh dan khusyu’ dalam tobatnya di sertai beramal saleh,maka Allah akan menukar dosa – dosanya dengan kebajikan dan pahala serta mengganti pnderitaan si terbunuh.
Pengertian kekal di jahanam dalam ayat ini, menurut jumhur ulama tafsir di maksudkan “tinggal lama”,bukan kekal abadi karena ada sebuah hadist rosululloh,bahwasanya akan keluar dari api neraka barang siapa terdapat di dalam hatinya seberat dzzarah iman.
Mengenai penuntutan si terbnuh terhadap si pembunuh di hari kiamat,maka hal itu termasuk ssalah satu hak-hak manusia yng tidak dapat di hapus dengan tobat,tetapi harus di kembalikan kepada yang bersangkutan.
Adapun tuntutan atau pengaduan dari seseorang dari seorang yang terbunuh terhadap yang membunuhnya di hari kiamat tidak selalu membawa akibat hukumn Allah bagi pembunuhnya,karena ada kalanya pembunuh telah melakukan amal – amal saleh semasa hidupnya yang sebagian dari pahalanya di berikan kepada si terbunuh sebagai ganti rugi sehingga ia dengan sisa pahalanya amal – amal salehnya masih dapat memasuki surga,atau Allah dengan rahmat dan karuniaNya membri ganti rugi kepada si terbunuh berupa kenikmatan di surga,dsb.
Adapun diat ( ganti rugi yang jarus di bayar oleh si pembunuh kepada ahli waris si terbunuh ialah 30 ekor unta berusia 3 tahun,30 ekor yang berusia 4 tahun,dan 40 ekor unta bunting) sebagaimana terperinci dalam kitab fiqih.
Menurut Imam syafi’ie bahwa kaffarah itu wajib dilakukan atas seseorang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja alasanya jika terhdap pembunuhan yang di lakukan tidak sengaja di wajibkan kaffarah,maka lebih berat lagi bagi pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. Di samping itu,juga ada hadist yang menguatkanya di riwayatkan oleh imam ahmad dari wa’ilah bin al – aqsa’ yang menceritakan : bahwa beberapa orang dari suku bani salim datang kepada rosululloh dan melapor bahwa seorang anggota suku mereka telah melakukan pembunuhan,maka bersabdalah rosululloh :

اَعْتِقُوا عَنْهُ يُعْتِقِ ا للهُ بِكُلِّ عُضْوًا مِنْهُ مِنَ ا لنَّا رِ
Artinya :
“Merdekakan untuk dia seorang hamba sahaya agar Allah membebaskan untuk setiap anggota sang hamba yang di bebaskan itu,anggota pembunuh dari api neraka”









II. PERMASALAHAN
Bagaimana ketentuan hukum tentang membunuh seorang muslim, mukmin dan orang-orang yang tergabung dalam perjanjian damai dengan kaum muslimin ??

III. PEMBAHASAN
Pembunuhan itu ada 2 macam,yaitu pembunuhan yang tidak di sengaja dan pembunuhan yang di lakukan dengan sengaja.
A. Pembunuhan Tidak Sengaja
Allah SWT menjelaskan hukum pembunuhan sesama orang mukmin yang terjadi dengan tidak sengaja. Hal ini mungkin terjadi dalam berbagai hal, dilihat dari keadaan mukmin yang terbunuh dan kalangan manakah mereka berasal. Dalam hal ini ada 3 kemungkinan:
Pertama: Ada kemungkinan bahwa mukmin yang terbunuh tanpa sengaja itu berasal dari keluarga yang mukmin pula. Maka hukumannya ialah bahwa pihak pembunuh harus memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. di samping membayar diat (denda) kepada keluarga yang terbunuh, kecuali jika mereka merelakan dan membebaskan pihak pembunuh dari pembayaran diat tersebut.
Kedua: Ada kemungkinan pula bahwa yang terbunuh itu berasal dari kaum atau keluarga bukan mukmin, tetapi keluarganya itu memusuhi kaum muslimin. Maka dalam hal ini hukuman yang berlaku terhadap pihak yang membunuh ialah bahwa ia harus memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin tanpa membayar diat.
Ketiga: Ada kemungkinan pula bahwa mukmin yang terbunuh tanpa sengaja itu berasal dari keluarga bukan mukmin, tetapi mereka itu sudah membuat perjanjian damai dengan kaum muslimin, maka hukumannya ialah bahwa pihak pembunuh harus membayar diat (1/3 diat orang mukmin (nasrani) dan 1/15 diat orang mukmin (majusi)) yang diserahkan kepada keluarga pihak yang terbunuh dan di samping itu harus pula memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin. Jadi hukumannya sama dengan yang pertama tadi.
Mengenai kewajiban memerdekakan "hamba sahaya yang mukmin" yang tersebut dalam ayat ini: ada kemungkinan tidak dapat dilaksanakan oleh pihak pembunuh, misalnya karena tidak diperolehnya hamba sahaya yang memenuhi syarat yang disebutkan itu, ialah hamba sahaya yang mukmin; atau karena sama sekali tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan hamba sahaya. misalnya pada zaman kita ini; atau hamba sahaya yang beriman, tetapi pihak pembunuh tidak mempunyai kemampuan untuk membeli dan memerdekakannya. Dalam hal ini, maka kewajiban untuk memerdekakan hamba sahaya itu dapat diganti dengan kewajiban yang lain, yaitu si pembunuh harus berpuasa dua bulan berturut-turut, agar tobatnya diterima Allah. Dengan demikian bebaslah ia dari kewajiban untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Mengenai "ketidak sengajaan" dalam pembunuhan yang tersebut dalam ayat ini, ialah ketidak sengajaan yang disebabkan karena kurang berhati-hati yang sesungguhnya dapat dihindari oleh manusia yang normal. Misalnya apabila seorang akan melepaskan tembakan atau lemparan sesuatu yang dapat menimpa atau membahayakan seseorang, maka ia seharusnya meneliti terlebih dahulu, ada atau tidaknya seseorang yang mungkin dikenai pelurunya tanpa sengaja. Dengan demikian jelaslah, bahwa tidak adanya sikap berhati-hati itulah yang menyebabkan pembunuh itu harus dikenai hukuman seperti tersebut di alas, walaupun ia membunuh tanpa sengaja, agar dia dan orang lain selalu berhati-hati dalam segala pekerjaannya terutama yang berhubungan dengan keamanan jiwa manusia.
Adapun diat atau denda yang dikenakan kepada pembunuh, dapat dibayar dengan beberapa macam barang pengganti kerugian, yaitu dengan seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi, atau dua ribu ekor kambing, atau dua ratus lembar pakaian atau uang seribu dinar atau dua belas ribu dirham. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Jabir, dari Rasulullah saw disebutkan sebagai berikut:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قضى في الدية على أهل الإبل مائة من الإبل وعلى أهل البقر مائتي بقرة وعلى أهل الشاة ألفي شاة وعلى أهل الحلل مائتي حلة

Artinya:
"Bahwasanya Rasulullah saw telah mewajibkan diat itu sebanyak seratus ekor unta kepada orang yang memiliki unta, dan dua ratus ekor sapi kepada yang memiliki sapi dan dua ribu ekor kambing kepada yang memiliki kambing. dan dua ratus perhiasan kepada yang memiliki perhiasan" (H.R. Abu Daud)
Kewajiban memerdekakan hamba sahaya yang beriman atau berpuasa dua bulan berturut-turut adalah kewajiban yang ditimpakan kepada si pembunuh. Akan tetapi diat ini adalah dipikulkan kepada aqilah, dan juga disebut "asabah" nya Dalam kitab hadis "Al Muwatta" dari Imam Malik disebutkan bahwa Umar Ibnul Khattab pernah menetapkan diat kepada penduduk desa, maka ditetapkannya sebanyak seribu dinar kepada yang memiliki uang emas dan dua belas ribu dirham kepada yang memiliki uang perak. dan diat ini hanyalah diwajibkan kepada 'aqilah dari si pembunuh. (Al-Muwatta', Kitabul Uqud, hadis kedua
B. Pembunuhan Dengan Sengaja
Dalam ayat ini menerangkan betapa besarnya dosa seorang mukmin yang membunuh mukmin yang lain dengan sengaja. Dalam permulaan ayat yang lalu disebutkan sebagai suatu perbuatan yang tidak layak bagi seorang yang beriman karena seharusnya imannya itu menghalanginya dari perbuatan tersebut. Oleh sebab itu maka ayat ini menyebutkan hukuman yang akan ditimpakan kepada mukmin yang membunuh mukmin yang lain dengan sengaja. sama dengan hukuman yang disediakan Allah SWT untuk orang-orang yang tidak beriman. sehingga seolah-olah Si pembunuh tersebut disamakan dengan orang-orang yang tidak beriman karena besarnya kejahatan yang dilakukannya yang sama sekali tidak layak bagi orang yang beriman. Menurut ayat ini. hukuman yang akan diterapkan untuknya ialah azab neraka Jahanam dan ia kekal di dalamnya dan ia akan ditimpa kemurkaan laknat Allah.
Perlu diketahui bahwa hukuman-hukuman yang disebutkan dalam ayat ini yang diancamkan kepada Si pembunuh mukmin yang membunuh mukmin yang lain dengan sengaja. adalah merupakan azab ukhrawi, yaitu azab yang akan diterimanya di akhirat kelak. Sedang di dunia ini, ia juga dikenai hukuman duniawi yang dilakukan oleh pihak penguasa menurut peraturan yang telah ditentukan dalam agama, yaitu: apabila dalam sidang pengadilan ia telah terbukti bersalah, maka terhadapnya dijatuhkan dan dilaksanakan hukum kisas yaitu: pembalasan yang setimpal, ialah hutang nyawa dengan nyawa. Akan tetapi. apabila pihak waris dari yang terbunuh memberikan maaf dan tidak menghendaki pelaksanaan hukuman kisas terhadap Si pembunuh. maka pihak Si pembunuh diwajibkan membayar diat, yang harus dilaksanakan dengan cara yang baik. Artinya: harus dibayar oleh yang bersangkutan pada waktu dan dengan jumlah yang ditetapkan oleh pengadilan tanpa mengulur-ulur waktu, dan sebaliknya pihak yang akan menerima harus bersabar sampai datangnya waktu yang telah ditetapkan dan tidak mendesak. ((Q.S. Al-Baqarah: 178) .Adapun diat ( ganti rugi yang jarus di bayar oleh si pembunuh kepada ahli waris si terbunuh ialah 30 ekor unta berusia 3 tahun,30 ekor yang berusia 4 tahun,dan 40 ekor unta bunting) sebagaimana terperinci dalam kitab fiqih.
Mengenai tobat si pembunuh menurut lahir ayat ini memang tidak diterima Allah SWT, karena dalam ayat ini disebutkan bahwa ia kekal dalam neraka Jahanam, sedang orang yang diterima tobatnya oleh Tuhan tidak akan kekal dalam neraka. Akan tetapi mengenai masalah ini ada dua pendapat:
Pertama: Pendapat sebahagian sahabat. antara lain Ibnu Abbas, mengatakan bahwa orang mukmin yang membunuh orang mukmin yang lain dengan sengaja tidak diterima tobatnya di sisi Allah SWT. Lain halnya dengan orang musyrik yang walaupun pada masa-masa musyriknya ia membunuh dan berzina, tetapi ia berbuat demikian, sebelum ia mendapat petunjuk dan belum mengetahui hukum-hukum Allah; apabila ia telah memperoleh petunjuk dan telah mengetahui hukum-hukum dan larangan-larangan agama, maka perbuatannya itu berarti meremehkan hukum-hukum Allah yang telah diketahuinya dengan baik, dan seolah-olah telah meninggalkan imannya. Maka wajarlah bila Allah Swt tidak menerima tobatnya, dan memberikan azab yang kekal dalam neraka Jahanam, serta ditimpa kemurkaan dan laknat Nya.
Kedua: Pendapat sebagian ulama, si pembunuh walaupun ia membunuh mukmin lainnya dengan sengaja, namun bila ia bertobat maka tobatnya masih diterima Allah SWT, sebab Allah SWT telah menjelaskan bahwa hanya dosa syiriklah yang tidak diampuni Nya. Adapun dosa-dosa selain syirik masih diampuni Nya bagi orang-orang yang dikehendaki Nya.
Allah SWT berfirman:
إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء ومن يشرك بالله
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar" (Q.S. An Nisa': 48)
Apabila dikatakan jika Allah SWT, dapat menerima tobat seseorang yang dahulunya musyrik, walaupun di masa syirik ia melakukan pembunuhan dan perzinaan, kemudian ia masuk Islam dan bertobat serta senantiasa melakukan amal-amal saleh dan menjauhi perbuatan jahat, mengapa tobat seorang mukmin yang melakukan satu kali pembunuhan saja tidak dapat diterima Allah SWT? Apakah tidak mungkin bahwa setelah melaksanakan pembunuhan itu yang mungkin karena disebabkan dorongan emosi yang meluap-luap ia sadar akan kesalahannya itu dan mengetahui betapa besar dosanya dan betapa berat azab yang akan diterimanya, lalu ia bertobat kepada Allah dan menjauhi sengaja macam kejahatan. serta mengerjakan amal-amal saleh dengan tekun? Adapun orang-orang yang mengaku mukmin, akan tetapi ia senantiasa bergelimang dalam perbuatan dosa dan membunuh orang-orang mukmin yang lain yang dianggapnya sebagai musuh-musuhnya, atau karena ingin menguasai harta benda. maka orang-orang semacam ini memanglah wajar tidak diterima tobatnya di sisi Allah SWT dan selayaknyalah mereka menerima azab neraka Jahanam, dan kekal di dalamnya serta ditimpa kemurkaan dan laknat Allah SWT.

IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat di ambil simpulan, pembunuhan itu ada 2 macam yaitu :
a. Pembunuhan Tidak Sengaja
Maka hukumnya dilihat dari keadaan mukmin yang terbunuh dan kalangan manakah mereka berasal. Dalam hal ini ada 3 macam :
1. mukmin yang terbunuh tanpa sengaja itu berasal dari keluarga yang mukmin pula. Maka hukumannya ialah bahwa pihak pembunuh harus memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. di samping membayar diat (diat atau denda yang dikenakan kepada pembunuh, dapat dibayar dengan beberapa macam barang pengganti kerugian, yaitu dengan seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi, atau dua ribu ekor kambing, atau dua ratus lembar pakaian atau uang seribu dinar atau dua belas ribu dirham.) kepada keluarga yang terbunuh, kecuali jika mereka merelakan dan membebaskan pihak pembunuh dari pembayaran diat tersebut.
2. yang terbunuh itu berasal dari kaum atau keluarga bukan mukmin, tetapi keluarganya itu memusuhi kaum muslimin. Maka hukuman yang berlaku terhadap pihak yang membunuh ialah bahwa ia harus memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin tanpa membayar diat.
3. mukmin yang terbunuh tanpa sengaja itu berasal dari keluarga bukan mukmin, tetapi mereka itu sudah membuat perjanjian damai dengan kaum muslimin, maka hukumannya ialah bahwa pihak pembunuh harus membayar diat (1/3 diat orang mukmin (nasrani) dan 1/15 diat orang mukmin (majusi)) yang diserahkan kepada keluarga pihak yang terbunuh dan di samping itu harus pula memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin.
Mengenai kewajiban memerdekakan "hamba sahaya yang mukmin" apabila tidak dapat dilaksanakan oleh pihak pembunuh, karena tidak diperolehnya hamba sahaya yang memenuhi syarat, ialah hamba sahaya yang mukmin; atau karena sama sekali tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan hamba sahaya. Seperti pada zaman kita ini; atau ada hamba sahaya yang beriman, tetapi pihak pembunuh tidak mempunyai kemampuan untuk membeli dan memerdekakannya. Maka kewajiban untuk memerdekakan hamba sahaya itu dapat diganti dengan kewajiban berpuasa dua bulan berturut-turut, agar tobatnya diterima Allah.
b. Pembunuhan Dengan Sengaja
Menurut ayat – ayat di atas. hukuman yang akan diterapkan untuk seseorang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja ialah azab neraka Jahanam dan ia kekal di dalamnya dan ia akan ditimpa kemurkaan laknat Allah.
Akan tetapi di dunia juga di laksanakan hukuman terhadapnya dijatuhkan dan dilaksanakan hukum kisas yaitu: pembalasan yang setimpal, ialah hutang nyawa dengan nyawa. Akan tetapi. apabila pihak waris dari yang terbunuh memberikan maaf dan tidak menghendaki pelaksanaan hukuman kisas terhadap si pembunuh. maka pihak Si pembunuh diwajibkan membayar diat, yang harus dilaksanakan dengan cara yang baik..Adapun diat ( ganti rugi yang jarus di bayar oleh si pembunuh kepada ahli waris si terbunuh ialah 30 ekor unta berusia 3 tahun,30 ekor yang berusia 4 tahun,dan 40 ekor unta bunting).
Akan tetapi mengenai masalah tobat si pembunuh ada dua pendapat:
a. Pendapat sebahagian sahabat. antara lain Ibnu Abbas, mengatakan bahwa orang mukmin yang membunuh orang mukmin yang lain dengan sengaja tidak diterima tobatnya di sisi Allah SWT. Berbeda dengan orang musyrik yang walaupun pada masa musyriknya ia membunuh dan berzina, tetapi ia melakukannya, sebelum ia mendapat petunjuk dan belum mengetahui hukum-hukum Allah; apabila ia telah memperoleh petunjuk dan telah mengetahui hukum-hukum dan larangan-larangan agama, maka perbuatannya itu berarti meremehkan hukum-hukum Allah. Maka Allah Swt tidak menerima tobatnya, dan memberikan azab yang kekal dalam neraka Jahanam, serta ditimpa kemurkaan dan laknat Nya.
b. Pendapat sebagian ulama, si pembunuh walaupun ia membunuh mukmin lainnya dengan sengaja, namun bila ia bertobat maka tobatnya masih diterima Allah SWT, sebab Allah SWT telah menjelaskan bahwa hanya dosa syiriklah yang tidak diampuni Nya.

V. PENUTUP
Demikian tugas ini saya buat. Saya yakin bahwa tugas yang saya buat ini masih jauh dari yang namanya kata memadai, karenanya, arahan, kritikan, dan masukan dari Ibu dan kawan-kawan amat kami perlukan demi kebaikan makalah ini pada khususnya dan kami serta kawan-kawan lain pada umumnya. Semoga apa yang kami lakukan bermanfaat. Amiinn






DAFTAR PUSTAKA

Al – Farmawy,Hayy.1996.Metode Tafsir Maudhu’iy.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Ridwan,Hamidi.2008. Pengantar Tafsir. Jakarta : Wordpers
www.wikipedia.com
M. Salim Bahraesi dkk, 1987, Tafsir Ibu Kasir, Surabaya, Bina Ibnu.

HUKUM ISLAM PADA MASA ROSULLAH SAW

I. PENDAHULUAN
Hukum islam merupakan salah satu hukum yang tidak di ragukan lagi kebenaran.Hukum Islam sudah ada sejak zaman rosulullah,sehingga di anggap oleh orang – orang islam sebagai hukum yang sakral yang mana mencakup tugas – tugas agama yang dating dari Allah dalam di wajibkan kepada semua umat islam dalam menjalani kehidupan sehari – hari.
Hukum Islam adalah ilmu yang membahas keadaan fiqih islam mulai dari masa rosulullah saw dan masa – masa sesudahnya.sehingga erat kaitannya dengan masalah – masalah iman dan aqidah.selain itu sumber – sumber hukum Islam dari al-qur’an,as-sunnah,dan ijtihad.Adapun ijtihad yang di lakukan oleh nabi saw tetap bersumber dari wahyu sehingga terhindar dari ketetapan hukum yang salah.ketetapan yang di berikan Allah terhadap ijtihad rasulullah tersebut yaitu dengan cara memberikan teguran atas tindakan nabi.

II. PERMASALAHAN
Dalam makalah ini akan di bahas oleh permasalahan sebagai berikut:
a. Pengertian hukum Islam
b. Sumber – sumber hukum dan
c. Ijtihad rosulullah dan sahabat pada masa rasulullah

III. PEMBAHASAN
a. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam sebagai “hukum Allah”yang bersifat supernatural,tidak lah seperti yang di pahamkan oleh sebagian orang yang memandangnya tidak mampunyai akar sama sekali dalam masyarakat.Hukum islam adalah:hukum yang membahas keadaan fiqih islam mulai dari masa rasulullah saw dan masa – masa sesudahnya,dari segi pertumbuhan hukum hal – hal yang berpautan dengannya.serta,menjelaskan keadaan fuqaha’ serta usaha – usaha mereka dalam menetapkan hukum yang bersal dari luar masyarakat dan Negara tersebut.Menurut pandangan ini,masyarakat tidak di beri kesempatan untuk mengatur diri mereka sendiri sesuai kebutuhan yang ada.Seperti yang di kemukakan oleh N.JCuolson tentang pandangan Islam:low therefore,does not grow out of,and is not molded by society as is the case white western systems.Human thought,unaided can not discern the true values and standards of conduct:such knowledge can only be artained througt divine revelation and acts are good or evil exclusively because god has attributed this quality to them.In Islamic concept,low precedes and moulds society;to its eternally valid dictates the structure of stateand society must,ideally conform.2
Hubungan Negara dan hukum Islam dalam”pernyataan politik”madinah sebuah piagam Negara Islam pertama pada masa nabi,disebutkan bahwa bila terjadi sengketa diantara orang Islam dalam pelaksanaan piagam tersebut,maka hendaklah di rujuk hukum Allah dan rasul.Begitu pula,bila terjadi sengketa dalam masyarakat harus diselesaikan menurut hukum Allah dan Rasul.Ini berarti bahwa Negara sebagai suatu organisasi kekuasaan dalam masyarakat haruslah memberlakukan hukum Allah.Akan tatapi,dalam sejarah perkembangan hukum islam,konsep hukum serta hubungannya dengan masyarakat.3
Hukum Islam dianggap sebagai hukum yang sacral oleh orang – orang Islam yang mencakup tugas-tugas Agama.Hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat di pisahkan dengan iman dan aqidah serta mempunyai dua istilah yakni syariat dan fiqih.Tujuan dari hukum Islam adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia.Dalam kehidupan sehari-hari dengan baik dan benar agar mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan diakhirat.
b. Sumber-sumber Hukum Islam
Sumber-sumber hukum Islam itu adalah Al-Qur’an,as-sunnah dan akal pikiran manusia yang mempunnyai syarat untuk berijtihad dengan menggunakan metode diantaranya Ijma;Qiyas,ijtihad,Al-Maslahatul Mursalah,ihtisan,Isrtishab,danUrf.


1) AI-Qur’an
AI-Qur,an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama.AI-Qur’an di turunkan selama 22 tahun,2 bulan,22 hari yang terdapat di dalam AI-Qur’an adalah prinsip-prinsip segala Ilmu pengetahuan dan kriminologi dan pengetahuan alam.Menurut Nasr SH Al-Qur’an mempunyai tiga jenis petunjuk bagi manusia:
a) Ajaran yang memberikan pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi manusia di dalamnya.
b) Berisi petunjuk yang mempunyai rujukan sejarah manusia,rakyat biasa,raja-raja,orang suci,para nabi sepanjang zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka.
c) AI-Qur’an berisi sesuatu yang sulit untuk di jelaskan dalam bahasa-bahasa.
Didalam surat AI-Imran,al-Qur’an ada yang muhkamad dan ada pula yang mutasyabihat.Ayat yang muhkamat adalah ayat yang memuat ketentuan pokok yang jelas dan dapat di pahami dengan mudah oleh setiap orang yang mempelajarinya.Ayat mutasyabihat adalah ayat perumpamaan yang mengandug kiasan,ia hanya dapat di pahami oleh orang – orang yang mempunyai pengetahuan luas dan mendalam tentang al-Qur’an.
Dengan menggunakan al-Qur’an nabi Muhammad membangun masyarakat baru dan membasmi kebudayaan jahiliyyah.Dan memperbaiki perilaku yang tidak manusiawi terhadap wanita,anak – anak,anak yatim serta tidak mengalang kebiasaan Arab pra Islam seperti judi dan lain-lain.
2) As-Sunnah
As-Sunnah adalah sumber kedua selain al-Qur,an ,berupa perkataan,perbuatan dan sikap nabi yang tercatat dalam kitab-kitab hadist.Ini bersal dari dalil yang berupa nash antara lain:
ومااتكم الرسول فد
Artinya: ”Apa yang di berikan rasul kepadamu maka terimalah dia,dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”
Adapun peran as-sunnah terhadap al-Qur’an:
a) menguatkan dan menjelaskan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an.
b) Menguraikan dan merincikan yang global (majmal),mengaitkan yang mutlak dan mentakhsisikan yang umum,tafsil takjid dan takhsil berfugsi menjelaskan apa yang di hendakai al-Qur’an.
c) Menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak di sebutkan dalam al-Qur’an.
Sunnah yang dapat di jadikan hujjah adalah yang dapat di pertanggung jawabkan dengan urutan sebagai berikut5
a) sunnah mutawatir,yaitu yang di riwayat kan dengan sannad yang banyak sehingga dapat di tentukan lagi siapa saja yang meriwayatkannya.
b) sunnah mashur,yaitu diriwayatkan paling sedikit sannadnya.
c) sunnah ahad,yaitu yang diriwayatkan dengan satu atau dua sanad saja.
3) Akal pikiran atau Ijtihad
Sumber hukum Islam yang ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha beriktihar dengan seluruh Keampuan yang ada dalam memahami kaidah-kaidah. Hukum yang terdapat dalam al Quran, kaidah-kaidah hukum yangbersifat umum yang terdapat dalam sunnah Nabi dan menunjukkannya menjadi garis-garis hukum bisa dilaksanakan pada kasus-kasus tertentu. Akal pikiran manusia yang memnuhi syarat berijtihad yang menjadi sumber hukum islam yang ketiga ini disebut dengan istilah Ar Ra’yu.
Dasar hukum untuk mempergunakan akal pikiran untuk berijtihad dalam perkembangan hukum Islam itu adalah Al Quran surat An Nisa’ (4) ayat 29. Ijtihad merupakan dasar dan sarana pengembangan hukum Islam. Ia asalah kewajiban umat islam yang memenuhi syarat untuk menunaikannya. Di lihat dari jumlah pelakunya ijtihad dapat dibagi menjadi dua yaitu :

a. Ijtihad individual (fardi) Yaitu ijtiha yang dilakukan oleh seorang saja
b. Ijtihad kolektif (ijma’i) yaitu yang dilakukan bersama-sama oleh banyak ahli tentang satu persoalan hukum tertentu.
c. Ijtihad Rosulullah dan Sahabat Pada Masa Rosulullah
Ijtihad yang dilakukan Rasulullah tetap bersumber dari wahyu, sehingga terhindar dari ketetapan hukum yang sah. Ketetapan yang diberikan Allah terhadap ijtihad Rosulullah tersebut yaitu dengan cara memberikan teguran atas tindakan nabi, tanda-tanda yang demikian itu merupakan pembenaran Allah terhadap tindakan beliau yang memiliki kedudukan sama dengan wahyu.
Nabi Muhammad kadang-kadang menerangkan hukum kepada umat Islam dengan cara sikap perilaku atau ada sebagian yang melakukan suatu tindakan dan nabi menetapkan hukumnya dengan menyetujuinya apabila yang dilakukan itu benar.
Contoh ijtihad nabi yang mengacu pada qiyas dan dapat di kategorikan dalam hukum syari’at yaitu katika seorang wanita datang kepada nabi menanyakan “wahai rasulullah,sebelum itu ibu saya meninggal dunia,beliau pernah bernadzar puasa.Apakah saya harus berpuasa untuk membayar nadzar itu?”jawab rasulullah:”bagaimana pendapatmu,apa bila ibumu masih mempunyai utang.apakah tindakkanmu itu dapat melunasi utangnya? Jawabnya”benar”!maka sabda nabi:”utang kepada Allah lebih berhak (pantas)untuk di lunasi”.
Kedudukan ijtihad pada masa rasulullah belum dapat di anggap sebagai alat penggali hukum,karena para sahabat masih pada taraf latihan.Para sahabat menggunakannya terbatas pada saat memerlukannya.kemudian mereka melaporkannya kepada rasul untuk mengetahui ketegasan hukum(nasb).10

IV. Analisis
Hukum Islam pada masa Rosulullah adalah bersumber dari Al Qur’an oleh sebsb itulah nabi menggunakan Al Qur’an untuk merubah peradaban masyarakat arab jahiliyah. Adapun sumber-sumber hukum Islam yakni, Al Quran As Sunnah dan Ijtihad.
Al Qur’an adalah sumber hukum yang pertama dan merupakan sumber pengetahuan metafisism aaran keagamaan tetapi jua segala sumber pengetahuan. Peranan al Quran dalam ilmu umum juga sangatlah penting yang sekarang banyak orang yang mengabaikannya di dalam kehidupan sehari-hari, selain itu al Quran adalah pedoman sekaraligus kerangka social dalam agama Islam. Sedangkan as Sunnah adalah sumber hukum islam yang kedua yang berfungsi sebagai penjelas al Quran dan merincikan ayat-ayat yang belum jelas.
Ijtihad merupakan upaya keras seorang faqih dan konsentrasi yang penuh demi berusaha untk mengambil Istinbat hukum syari’ah yang bersumber dari dalil syar’I. ijtihad nabi dan rekomendasi beliau bagi para sahabat merupakan teladan bagi umatnya.

V. Kesimpulan
1. Hukum Islam merupakan salah satu hukum yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
2. sumber-sumber hukum Islam berasal dari al Quran, as Sunnah dan Ijtihad. Adapun Ijtihad yang dilakukan oleh Nabi SAW tetap bersumber dari wahyu sehingga terhindar dari ketetapan hukum yang salah.
3. Ijtihad yang dilakukan oleh Nabi tetap bersumber pada wahyu sehingga terhindar dari ketetapan yang salah dan para sahabat melakukan ijtihad pada saat memerlukannya. Kemudian mereka melaporkan kepad arasul untuk mengetahui ketegasan hukum.
4. Ijtihad dapat dibagi menjadi dua yaitu : Ijtihad Individual (fardi) dan Ijtihad Kolektif (ijma’i)

VI. Penutup
Demikianlah makalah ini yang dapat kami sampaikan, apabila ada kata atau penyampaian dari kami yang kurang berkenan, kami mohon kritik dan saran karena hal itu bisa menjadi koreksi bagi kami, kami mohon maaf atas segala kekurangan serta bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Daftar Pustaka

Ash-Shiddiqi, Hasbi. Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang. 1971.
Coulson, N. J. A History of Islamic Law. Edinburg : Edinburg University Press. 1978.
DAud. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Rajawali. 1990.
Efendi, M. DAhlan. Fiqih. Jakarta : Permada Media. 2003.
Husen, Ibrahim. FIqh Perbandingan. Jakarta : Yayasan Ihya Ulumuddin. 1971.
Luthfi, Amir. Hukum dan Perubahan Struktur Kekuasaan. Pekan Baru : SUSQA Press, 1991.
Syeh Muhammad Ali. AS Saef. Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh. Jakarta : Raja Grafindo. 1995.

METODE IJMALIY

METODE IJMALIY

I.Pendahuluan
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Didalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syari’at, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah subhaanahu wa ta’ala tidak memberi perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering menggunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulahberupa tafsir Al-Qur’an.
Dalam penafsiran Al Quran ada berbagai macam metode untuk menafsirkan al-Quran, antara lain, metode tahlily, metode ijmaliy,metode muqaran,dan metode maudhu’i. Di dalam makalah ini akan di kemukakan pembahasan dan uraian mengenai metode ijmaliy.

II.Permasalahan
Dalam makalah ini, akan di bahas beberapa masalah mengenai :
A. Pengertian tafsir ijmaliy
B. Ciri-ciri tafsir ijmaliy
C. Kelebihan dan kekurangan tafsir ijmaliy
III.Pembahasan
A.Pengertian Metode Ijmaliy

Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.
Kitab tafsir yang tergolong dalam metode ijmali (global) antara lain : Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyat, dan Tafsir al-Jalalain, serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.
B. Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.
C.Kekurangan Dan Kelebihan Metode Ijmaly
Kelebihan : praktis dan mudah dipahami, bebas dari penafsiran Israiliat, akrab dengan bahasa Al-Qur’an. Metode ini memang cukup bisa mempermudah pemahaman -masyarakat awam khususnya- mengenai maksud dari redaksi yang ada dalam mushaf dengan mengandalkan uraian globalnya. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kekurangannya : menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial (tidak utuh/padu), tak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai. kelemahan metode ini tampak. Penjelasannya yang terlalu singkat membuatnya tidak bisa menguak makna-makna yang terkandung dalam al-Qur'an. penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
Sebagai contoh: Alif Lam Mim : Allah yang lebih mengetahui tentang hal itu.
Dzalikal kitabu : Inilah kitab yang dibaca Muhammad. La Raiba fihi : Tidak ada keraguan di dalamnya bahwa kitab ini datang dari Allah.
IV. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di ambil kesimpulan,sbb :
Pengertian : menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Bersistematika penulisan menurut susunan ayat-ayat dalam mushaf. Contoh : Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi, Tafsir Jalalain. Ciri-ciri : tidak ada ruang bagi mufassir untuk mengemukakan pendapat atau ide-idenya sendiri, bersifat ringkas dan umum hingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca adalah tafsirnya. Kelebihan : praktis dan mudah dipahami, bebas dari penafsiran Israilia, akrab dengan bahasa Al-Qur’an. Kekurangan : menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial (tidak utuh/padu), tak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.

V. Penutup
Demikian tugas ini saya buat. Saya yakin bahwa tugas yang saya buat ini masih jauh dari yang namanya kata memadai, karenanya, arahan, kritikan, dan masukan dari Ibu dan kawan-kawan amat kami perlukan demi kebaikan makalah ini pada khususnya dan kami serta kawan-kawan lain pada umumnya. Semoga apa yang kami lakukan bermanfaat. Amiinn


DAFTAR PUSTAKA

Al – Farmawy,Hayy.1996.Metode Tafsir Maudhu’iy.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Ridwan,Hamidi.2008. Pengantar Tafsir. Jakarta : Wordpers
www.wikipedia.com

RESUME HUKUM ACARA PERDATA

BAB I
PENGANTAR

Hokum acara perdata adalah peraturan hokum yang mengatur bagaimana caranya menjamin di taatinya hokum perdata materiil dengan perantara hokum. Dengan perkataan lain hokum perdata ialah hokum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaannya hokum perdata materiil.
Mengenai tindak pidana menghakimi sendiri ini ada tiga pendapat, yang pertama bahwa tindakan menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan (Van Boneval Faure) alasannya ialah, bahwa hokum acara telah menyediakan upaya-upaya untuk memperoleh perlindungan hokum bagi para pihak melalui pengadilan. Pendapat kedua, tindakan menghakimi sendiri tetap tidak dapat dibenarkan, dengan pengertian bahwa yang melakukan dianggap melakukan perbuatan hokum (Cleveringa). Pendapat ketiga , bahwa tindakan menghakimi sendiri pada azasnya tidak dibenarkan, akan tetapi apabila peraturan yang ada tidak cukup memberi perlindungan, maka tindakan mengahakimi sendiri itu secara tertulis dibenarkan oleh (Rutten)
Lazimnya peradilan dibagi menjadi peradilan volunteer (Voluntaire jurisdictie) yang sering juga juga disebut “peradilan suka rela” atau peradilan “yang tidak sesungguhnya” dan peradilan Contentious (Contitieus Jurisdictie) atau peradilan yang “sesungguhnya”. Sering tidak mudah membedakan peradilan Volunter dan Contitieus. Pada umumnya orang berpendapat bahwa orang yang termasuk peradilan volunteer ialah semua perkara yang oleh undang-undang ditentukan harus diajukan dengan permohonan, sedang selebihnya termasuk peradilan contitieus.
Sumber Hokum Acara Perdata
Berdasarkan pasal 5 ayat 1 UUDar.1/1951. maka hukumnya acara pada pengadilan negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan UUDar tersebut menurut peraturan-peraturan RI dahulu, yang telah ada dan berlaku untuk pengadilan negeri dalam daerah RI terdahulu. yang dimaksud UUDar.1/1951 tersebut tidak lain adalah Het Herziene Indonesich Reglement (HIR atau Reglement Indonesia yang dibaharui: S.1848 no 16, S. 1941 no. 44). Untuk daerah Jawa dan Madura, dan Rechgement Buitengewesten (Rbg, atau daerah seberang: S. 1927) untuk luar Jawa dan Madura.

Azas-Azas Hokum Acara Perdata
1. Hakim Bersifat Menunggu
Azas dari hokum acara perdata pada umumnya yang sering digunakan adalah pelaksanaannya, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak yang diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya: Iudex Ne Prosedat Ex Officio (lihat ps. 118 HIR, 142 Rbg). Dan yang memproses adalah Negara. Hakim tidak boleh menolak dan memeriksa dan mengadilinya ketika perkara itu sedang diajukan, sekalipun dengan dalih bahwa hokum kurang jelas (ps. 144 ayat 1 UU. 14/1970). Larangan untuk menolak dan memeriksa perkara disebabkan dengan anggapan bahwa hakim tahu akan huumnya (Ius Curia Novit).
Hakim Pasif
Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada azasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya (ps. 130 HIR, 154 Rbg). Jadi pengertian pasif ialah bahwa hakim tidak menentukan luas pada pokok perkara.
2. Sifat Terbukanya Sidang
Sidang pemerisaan pengadilan pada azasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Yang bertujuan untuk memberi perlindungan hak azasi manusia dalam peradilan serta untuk lebih menjamin obektifitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat.
3. Mendengarkan Kedua Belah Pihak
Didalam hokum acara perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa pengadilan mengadili menurut hokum dengan tidak membedakan orang.

4. Putusan Harus Disertai Dengan Alasan
Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggung jawaban hakim dari putusannya terhadap masyarakat, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Karena alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya.
5. Beracara Dikenai Biaya
Biaya perkara ini meliputi biaya kepanitraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Di samping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula dikeluarkan biaya.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (ps. 237 HIR, 237 Rbg).
6. Tidak Ada Keharusan Untuk Mewakilkan
HIR tidak mewajibkan keharusan untuk mewakikan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak tidak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (ps. 123 HIR, 147 Rbg). Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada kuasa.
Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman ketentuannya diatur dalam UU. 14/1970, UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum dan UU no. 14 tahun 1985 tentang mahkamah Agung. UU No. 14 tahun 1970 merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asas-asas perdalilan serta pedomen bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara, sedang masing-masing peradilan masih diatur dalam undang-undang tersendiri.
1. Bebas Dari Campur Tangan Pihak-Pihak Luar Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas dari campur tangan pihak-pihak diluar kekuasaan kehakiman untuk menyelenggerakan peradilan demi terselenggaranya negara hokum (ps. 1,4 ayat 3 UU. 14/1970, 11 ayat 1 TAP VI/MPR/1973)
Pada hakekatnya kebebasan ini merupakan sifat pembawaan dari setiap perdilan. Hanya batas kebebasannya dipengaruhi oleh system pemerintahan, politik, ekonomi dsb. kebebasan dalam melaksanakan wewenang judicial menurut UU. 14/1970 itu pun tidak mutlak sifatnya, karrena tugas dari pada hakim adalah untuk menegakkan hokum dan mencari dasar hokum serta asas-asas yang jadi landasan, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusan mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
2. Badan Peradilan Negara
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan Peradilan Negara yang ditetapkan dengan undang-undang (ps. 3 ayat 1, 2 ayat 1 UU. 14 / 1970). Penegasan ini berarti tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yang dilakukan oleh bukan badan Peradilan Negara seperti peradilan swapraja dan adat.
3. Azas Obyektivitas
Azas obyektivitas atau memihaknya pengadilan terdapat dalam pasal 5 ayat 1 UU. 14/1970. Di dalam memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan, hakim harus obyektiv dan tidak boleh memihak. Untuk menjamin azas ini bagi pihak yag di adili dapat mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan-alasan terhadap hakim yang akan mengadili perkaranya, yang disebut hak ingkar.
Lingkungan Peradilan
Pada umumnya dikenal pembagian peradilan menjadi Peradilan Umum, dan Peradilan Khusus. Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana, sedangkan peradilan khusus mengadili perkara atau golongan rakyat tertentu. Demikian pula UU. 14/1970 mengenal pada azasnya dua pembagian tersebut. Pasal 10 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan didalam lingkungan peradilan umum dan peradilan khusus, yaitu lingkungan peradilan agama, militer serta tata usaha Negara, dan tidak menutup kemungkinan adanya spesialisasi dalam masing-masing lingkungan peradilan seperti misalnya peradilan ekonomi.

4. M.A Puncak Keadilan
M.A. adalah Pengadilan Negara Tertinggi (ps. 10 ayat 2 UU. 14/1970, ps. 2 UU. No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung). Dengan demikian maka masing-masing lingungan peradilan tidak mempunyai badan pengadilan yang teringgi yang berdiri sendiri, akan tetapi mempunyai puncaknya pada M.A. dengan menempatkan M.A di puncak, maka pembentukan undang-undang menghendaki adanya kesatuan peradilan.
Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, maka sudah sewajarnya kalau M.A melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan-pengadilan yang lain (ps.10 ayat 4 UU, 14/1970,ps. 32 UU. No.14 tahun 1985). Disamping mengadakan pengawasan, M.A dapat juga memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hokum baik di minta maupun tidak kepada lembaga tinggi Negara (ps. 11 ayat 2 TAP VI/MPR/1973).
5. Pemeriksaan Dalam Dua Tingkat
Agar suatu perkara dapat ditinjau dari segala segi sehingga pemeriksaannya tuntas, serta untuk mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi kekeliruan dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, diadakanlah pemeriksaan dalam dua tingkat, yaitu peradilan dalam tingkat pertama (Original Jurisdiction) dan peradilan dalm tingkat banding (Appellate Jurisdiction), yang mengulang pemeriksaan perkara yang telah diputus oleh pengadilan dalam peradilan pertama.
Pemeriksaan dalam tingkat banding merupakan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan dalam tingkat dua dan terakhir. Perkara diperiksa secara keseluruhan, baik dari segi peristiwanya maupun dari segi hukumnya. Sudah selayaknya kalau dalam hal ini kedua belah pihak diberi kesempatan yang sama untuk mengetengahkan alasa-alasan yang tidak diajukan dalm pemeriksaan tingkat pertama. Hal ini ditegaskan dalam putusan mahkamah aggung tanggal 9 oktober 1975, yang menyatakan bahwa, “cara pemeriksaan dalam tingkat banding yang seolah-olah tingkat kasasi, yang hanya memperhatikan keberatan-keberatan yang diajukan oleh pembanding adalah salah”.
6. Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Peradilan dilakukan “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (ps. 4 ayat 1 UU. 14/1970, bandingkan dengan ps. 27 RO). Rumusan ini berlaku untuk semua peengadilan dalam semua lngkungan peradilan.

7. Susunan Persidangan : Mejelis
Susunan persidangan untuk semua pengadilan pada azasnya merupakan majelis, yang sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim (ps. 15 ayat 1 UU. 14/1970). Di dalam praktek susunan persidangan yang berbentukmejelis ini bolehlah dikatakan selalu terdiri dari tiga orang. Akan tetapi pernah sekali terjadi pemeriksaan suatu perkara dilakukan oleh majelis yang terdiri dari lima orang hakim. Azas hakim ini dimaksudkan untuk menjamin pemeriksaan yang seobyektif-obyektifnya, guna memberi perlindungan hak-hak azasi manusia dalam bidang peradilan.
8. azas “Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan”
Yang dimaksud dengan sederhana ialah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas-formalitasnya yang diwajibkan atau diperlukan dalam beracara dimuka peradilan, makin baik.
9. Hak Menguji Tidak Dikenal
Suatu produk legislative yang sudah ketinggalan jaman harus disesuaikan, harus diubah atau dicabut. Yang paling wewenang untuk mengubah atau menggantinya adalah pembentuk undang-undang sendiri. Akan tetapi apabila pembentuk itu sendiri tidak mampu mengubahnya, maka tugas hakimlah untuk menyesuaikannnya dengan keadaan dengan jalan menilai, menafsirkan atau mengujinya.
10. peninjauan kembali
M.A memeriksa dan memutus peninjauan kembal pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap yang disertai dengan alasan-alasan. Ketentuan ini masih memerlukan peraturan pelaksanaan lebih lanjut. Sementara itu mengenai permohonan peninjauan kembali putusan perdata M.A. menetapkan bahwa permohonan peninjauan kembai dapat mengajukan gugatan request civil menurut cara gugatan biasa dengan berpedoman pada peraturan burgerlijke rechtsvor dering.
11. Tugas Hakim Perdata Dalam Lingkungan Peradilan Umum
Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri, pengadilan tinggi. Pengadilan negeri beredudukan dikotamadya atau di ibu kota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, sedangkan pengadilan tinggi berkedudukan di ibu kota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh kepala Negara. Dengan demikian kebebasan kedudukannya diharapkan terjamin. Azas dilingkungan peradilan umum adalah peradilan oleh ahli-ahli dalam bidang hokum. Pasal 3 ayat 1 UU. 13/1965 menentukan bahwa hakim adalah sarjana hokum. Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Maka ia harus seorang sarjana hokum. Itulah dasar pemikiran azas ini.
Tugas pokok badan peradilan adalah menerima, memeriksa dan mengadii serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya (ps. 2 ayat 1). Pengertian sikap perkara ini meliputi baik perkara perdata (ps. 5 ayat 2) dan perkara pidana (ps. 33 ayat 1).
12. Pejabat-Pejabat Pengadilan
Tugas penitra adalah menyelenggarakan administrasi perkara serta mengikuti semua sidang serta musyawarah pengadilan dengan mencatat dengan teliti semua hal yang dibicarakan. Ia harus membuat berita acara (process verbal) sidang pemeriksaan di persidangan dan menandatanganinya bersama-sama dengan ketua sidang.
Untuk dapat diangkat menjadi panitra, wakil panitra, panitra muda dan panitra pengganti, baik bagi pengadilan negri maupun pengadilan tinggi ada persyaratannya antara lain dasar pendidikan dan pengalaman bekerja (ps. 28-35 UU no. 2 th 1986).
BAB II
CARA MENGAJUKAN TUNTUTAN HAK

Tuntutan hak bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrchting”.
Bahwa suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hokum yang cukup, merupakan yarat utama unuk dapat diterimanya tuntutan hak itu oleh pengadilan guna diperiksa. Point d’interet, point d’action.
Persyaratan mengenai isi gugatan kita jumpai dalam pasal 8 no. 3 Rv. Yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat: 1. identitas dari pada para pihak, 2. dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hokum yangmerupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan (middlen van den eis) atau lebih dikenal dengan fundamentum petendi, dan 3. tuntutan (onderwerp van den eis met een bepaalde concluise) atau petitum.
Peraturan perundang-undangan yang lengkap mengenai pengangkatan anak dewasa ini memang belum ada.
Pengadilan negeri Jakarta pusat dalam putusannya tanggal 5 januari 1972 menentukan sebagai syarat pengangkatan anak (adopsi internasional ) sebagai berikut:
a. Permohonan adopsi internasional harus diajukan di pengadilan negeri di Indonesia dimana anak yang di angkat bertempat tinggal.
b. Pemohon harus bertempat tinggal di Indonesia
c. Pemohon beserta istri harus menghadap sendiri di hadapan hakim memperoleh keyakinan bahwa pemohon betul-betul cakap dan mampu untuk menjadi orang tua angkat.
d. Pemohon beserta istri berdasarkan peraturan perundang Negaranya mempunyai surat izin untuk mengangkat anak.
Sehubungan dengan apa yang diuraikan perlu kiranya ada surat edaran menteri social tanggal 7 desember 1987 no. huk 3-58/78 yang memintakan perhatian hal-hal berikut:
1. Batas umur yang akan diangkat sedapat mungkin tidak lebih dari 5 tahun
2. Batas umur calon orang tua angkat sedapat mungkin tidak lebih dari 50 tahun dan dalam keadaan bersuami/isteri
3. Anak yang akan diangkat jelas asal usulnya
4. Bila masih ada orang tua anak, harus ada persetujuan tertulis yang dilengkapi dengan saksi
5. Ada bukti dari instansiyang berwebang dari Negara asal, bahwa calon dari orang tua angkat betul telah disetujui untuk mengangkat anak dan dalam keadaan baik materiil maupun social.

Bagi perbuatan pengangkatan anak ada perbedaan mengenai persyaratan antara ketiga macam permohonan tersebut:
Bagi calon orang tua angkat :
a. pengangkatan anak antar WNI yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat dibolehkan.
b. Pengangkatan anak WNA harus melalui suatu yayasan social yang memiliki izin dari departemen social bahwa yayasan tersebut telah dizinkan bergerak dibidang kegiatan pengangkatan anak.
c. Calon orang tua angkat WNA harus berdomisili dan bekerja tetap di indonesia sekurang-kurangnya 3 tahun dengan disertai izin tertulis dari menteri social bahwa ia diizinkan untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak WNI.
Bagi calon anak angkat:
a. Apabila calon anak yang akan diangkat dalam asuhan suatu yayasan social harus dilampiri izin tertulis dari menteri social.
b. Bagi calon anak WNI atau WNA yang akan diangkat usianya harus belum mencapai 5 tahun.
Penggabungan Tuntutan
Untuk mengajukan kumulasi obyektif pada umumnya tidak diisyaratkan bahwa tututan-tuntutan itu harus ada hubungannya yang erat satu sama lain. Akan tetapi dalam tiga hal kumulasi obyektif itu tidak dibolehkan:
1. Kalau tuntutan (gugatan) tertentu diperlukan suatu cara khusus (gugat cerai) sedangkan tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara biasa (gugatan untuk memenuhi perjanjian). Maka kedua tuntutan itu tidak boleh digabungkan.
2. Demikian pula apabila hakim tidak wenang ( secara relative) untuk memeriksa salah satu tuntutan yang diajukan bersama-sama dalam satu gugatan dengan tuntutan lain maka tuntutan itu tidak boleh diajukan bersama-sama dalam satu gugatan.
3. Tuntutan tentang “bezit” tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan dengan “elgendom”dalam satu gugatan (ps. 103 Rv).
Wewenang Mutlak Dari Pada Hakim (Kompetensi Absolute)
Tugas pokok dari pada pengadilan, yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Kekuasaan pengadilan negri dalam perkara perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya atau hak yang timbul karenanya. Wewenang mutlak pengadilan tinggi meliputi ; 1. pemeriksaan ulang perkara perdata maupun pidana sepanjang dimungkinkan untuk dimintakan banding. 2. memutus dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa wewenang mengadili antara pengadilan negri didalam wilayahnya. 3. Prorogasi Perkara Perdata.
Wewenang Nisbi Dari Pada Hakim (Kompetensi Relative)
Kompetensi relative diatur dalam pasal 118 HIR (ps. 142 Rbg).
Sebagai azas ditentukan, bahwa pengadilan negri di tempat tergugat tinggal yang wenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak : actor sekultur forum rei (ps. 118 ayat 1 HIR, 142 ayat 1 Rbg).
Upaya-upaya untuk menjamin hak
Ada dua macam sita jaminan, yaitu:
1. Sita Jaminan Terhadap Barang Miliknya Sendiri
penyitaan ini dilakukan terhadap barang milik kreditur (penggugat) yang dikuasai oleh orang lain. Sita jaminan terhadap terhadap miliknya sendiri ada dua macam :
a. Sita Revindikator (ps. 226 hir, 260 rbg)
Pemilik barang bergerak yang barangnya ada ditangan orang lain dapat minta, baik secar lisan maupun tertulis kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal, agar barabg tersebut disita. Penyitaan ini dsebut redisivator.
b. Sita Material
Sita material bukanlah untuk menjamin tagihan uang atau penagihan barang, melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung selama pemeriksaan perceraian dipengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya.
2. Sita Jaminan Terhadap Barang Milik Debitor
Penyitaan inilah yang biasanya disebut sita consevatoir. Sito consevatoir merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonannya kepada ketua pengadilan negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat.
Yang dapat disita secara consevatoir adalah a. barang bergerak milik debitur, b. barang tetap milik debitur, c. barang bergerak milik debitur yang ada di tangan orang lain.
a. Sita consevatoir atas barang bergerak milik debitur
(ps. 227 jo. 197 HIR, 261 jo. 208 Rbg)
b. Sita consevatoir atas barang bergerak milik debitur
(ps. 227, 197,198,199 HIR, 261,208,214 Rbg)
c. Sita consevatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada dipihak ketiga
(ps. 728 Rv,197 ayat 8 HIR, 211 Rbg)
d. Sita consevatoir terhadap kreditur
(ps. 750a Ry)
e. Sita gadai atau pandesbleg
(ps. 751-756 Rv)
f. Sita consevatoir atas barang-barang debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal diindonesia atau orang asing bukan penduduk ndonesia.
(ps. 757 Rv)
g. Sita consevatoir atas pesawat terbang
(ps. 763h-763k Rv)

Memasukkan Gugatan
Setelah ditanda tangani penggugat mendaftarkan surat gugatanya, yang harus memenuhi peraturan bea materai disertai dengan salinannya kepada kepaniteraan pengadilan negeri yang bersangkutan.

BAB III
PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN

Putusan gugur
Ada kalanya penggugat yang mengajukan gugatan pada hari sidang yang telah ditetapkan tidak datang menghadap dan tidak pula mengirimkan wakilnya menghadap meskipun telah dipanggil dengan patut oleh jurusita.
Digugurkannya gugatan penggugat tidak hanya apabila penggugat tidak datang saja, tetapi juga kalau penggugat tidak mengajukan perkaranya dimuka hakim perdamaian desa, meskipun telah diperintahkan oleh hakim.
Putusan diluar (verstek)
Kalau tergugat tidak datang setelah dipanggil dengan patut, maka gugatan dikabulkan dengan putusan diluar hadir atau verstek, kecuali kalau gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan.
Jika gugatan tidak bersandarkan hukum, yaitu apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan, maka gugatan akan dinyatakan tidak diterima (niet ontvankelijk verkland). Jika gugatan itu tidak beralasan, yaitu apabila tidak diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan, maka gugatan itu ditolak.
Perdamaian
Berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak itu maka hakim menjatuhkan putusannya, (acte van vergelijk), yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka.
Pengaruh lampau waktu terhadap tuntutan hak
Lampaunya waktu ini disebut lampaunya waktu yang extincief (prescription), yaitu lampaunya waktu yang menyebabkan hapusnya perikatan. Disamping lampaunya waktu menurut pasal 1967 BW itu masih dikenal lampaunya waktu yang acquisitief (usucapio) yang diatur dalam pasal 1963 BW, yaitu lampaunya waktu yang menyebabkan seseorang yang memperoleh suatu hak.
Tugas hakim
Tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya (ps. 2 ayat 1 UU. 14/1970). Hakim menerima perkara, jadi dalam hal ini sikapnya adalah pasif atau menunggu adanya perkara diajukan kepadanya dan tidak aktif mencari atau mengejar perkara.
Tugas hakim tidak berhenti dengan menjatuhkan putusan saja, akan tetapi tidak sampai pada pelaksanaannya.
Jawaban
Jawaban tergugat dapat berupa pengakuan, tetapi dapat juga berupa bantahan (verweer).pengakuan berarti membenarkan isi gugatan penggugat, baik untuk sebagain sebagian maupun seluruhnya, sehingga kalau tergugat membantu penggugat harus membuktikan.
Adakah persyaratannya mengenai cara mengajukan jawaban ?
Tentang apakah jawaban tergugat harus disatukan atau boleh dipisah-pisah ada 3 pendapat, yaitu:
1. Jawaban tergugat harus diberikan sekaligus dengan akibat gugurnya jawaban atau sangkalan apabila tidak diajukan sekaligus (eventual maxime).
2. Jawaban diberikan dalam kelompok-kelompok. Prinsip ini menghambat jalannya pemeriksaan, sehingga oleh karena itu terdesak oleh prinsip eventualmaxime.
3. Demi kepentingan kedua belah pihak yang berperkara, maka sepanjang pemeriksaan boleh diajukan jawaban-jawaban, akan tetapi hakim dapat mengesampingkannya demi lancarnya jalan pemeriksaan.
Apa yang dimaksudkan dengan tangkisan (exepties verweer) dan sangkalan verweer ten principale) tidak dijelaskan oleh undang-undang.
Pada umumnya yang diartikan dengan eksepsi adalah suatu sanggahan atau bantahan dari pihak tergugat dalam gugatan penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang berisi tuntutanbatalnya gugatan. Sedangkan yang dimaksud dengan sangkalan (verweer ten prinipale) adalah sanggahan yang berhubungan dengan pokok perkara.
Eksepsi proseuil adalah upaya yang menuju kepada tuntutan tidak diterimanya gugatan. Hanya dalam ketidakwenangan hakim atau batalnya gugatan, hakim bukannya menyatakan tidak diterimanya gugatan, melainkan enyatakan dirinya tidak wenang atau menyatakan gugatannya batal.
Sedangkan eksepsi materiil adalah bantahan lainnya yang didasarkan atas ketentuan hokum materiil. Termasuk eksepsi materiil adalah eksepsi yang bersifat menunda (eksepsi dilatoir) seperti eksepsi bahwa tuntutan penggugat belum dapat dikabulkan berhubung penggugat memberi penundaan pembayaran, dan eksepsi peremtoir yang sudah mengenai pokok perkara.


Gugat Balik (Gugat Rekonvensi)
Gugat rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka.
Tuntutan rekonvensi pada hakekatnya merupakan kumulasi atau gabungan dua tuntutan, yang bertujuan untuk menghemat beaya, mempermudah prosedur dan menghindarkan putusan-putusan yang bertentangan satu sama lain.: jadi mempunyai alasan praktis untuk menetralisir tuntutan konvensi.
Jalannya persidangan
Azas terbukanya sidang untuk umum mempunyai sifat praktis, terutama bagi acara pemeriksaan yang berlangsung secara lisan seperti yang kita kenal dalam HIR, karena umum dapat mengikuti sepenuhnya.
BAB IV
PEMBUKTIAN

Dalam beberapa hal maka peristiwanya tidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim, ini disebabkan karena:
1. Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran peristiwa tdak perlu dibuktikan kebenarannya. Dalam hal-hal dibawah ini peristiwanya tidak perlu dibuktikan.
a. Dalam hal dijatuhkan keputusan versek. Karena tergugat tidak datang.
b. Dalam haltergugat mengakui gugatan penggugat maka peristiwa yang menjadi sengketa yang dianggap itu telah terbukti.
c. Dengan telah dilakukan decisoir, sumpah yang bersifat menentukan
d. Telah menjadi pendapat umum, bahwa dalam hal bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte.
2. Hakim secara ex officio dianggap mengenal peristidwanya, sehingga tidak perlu dibuktikanlebih lanjut. Peristiwa-peristiwa itu ialah:
a. Apa yang dikenal sebagai peristiwa notoir. Peristiwa notoir adalah kejadian atau keadaan yang dianggap harus diketahui oleh orang yang berpendidikan, dan mengenal zaman.
b. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di persidangan dimuka hakim yang memeriksa perkara. Kejadian prosesoil ini dianggap diketaui hakim, jadi tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.
3. Pengetahuan tentang pengalaman, yang dimaksud pengetahuan tentang pengalaman ini adalahkesimpulan berdasarkan pengetauan umum.
Membuktikan
Membuktikan mengandung beberapa pengertian:
1. Kata membuktikan dikenal dalam arti logis. Membuktikan disisni berarti memberi kepastian bersifat mutlak.karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
2. Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensionil. Disinipun membuktikan berarti kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau relative sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka.
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal.
3. Membuktikan dalam hokum mempunyai arti yuridis.
Tujuan Pembuktian
Tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Walaupun putusan itu diharuskan obyektif, namun dalam hal pembuktian dbedakan antara pembuktian dalam perkara pidana yang mensyaratkan adanya keyakinan dan pembuktian dalam perkara perdata yang secara tidak tegas mensyaratkan adanya keyakinan.
Hokum pembuktian positif
Hokum acara sebagai hokum formil mempunyai unsr materiil maupun formil. Unsure-unsur materii dari pada hokum acara adalah ketentuan yang mengatur tentang wewenang .
Hokum pembuktian dalam BW buju IV itu disusun khusus untuk acara contradictoir dalam bidang hokum harta kekayaan dimuka hakim perdata.
Berhubung dalam menilai pembuktian hakim dapat bertindak bebas atau diikat oleh undang-undang, ada tiga teori dalam pembuktian ini;
1. Teori pembuktian bebas
Teori ini tidak menghendakiadanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim.
2. Teori pembuktian negative
Menurut teori ini harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negative, yaitu bahwa ketentuan harus membatasi pada larangan hakim untuk melakukan sesuatu berhubungan dengan pembuktian.
3. Teori pembuktian positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah epada hakim.
Dalam ilmu pengetahuan yang terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian dapat merupakan pedoman bagi hakim :
1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmative)
2. Teori hokum subyektif
3. Teori hokum obyektif
4. Teori hokum public
5. Teori hokum acara
Alat Bukti
1. Alat Bukti Tertulis
Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang dipergunakan sebagai pembuktian.
Surat sebagai alat bukti tertulis ada dua, yaitu surat yang berupa akta dan surat yang bukan akta, sedangkan akta dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan.
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula yang menjadi pembuktian.
Adanya keharusan tanda tangan bertujuan untuk membedakan akta yang satu dengan akta yang lain yang dibuat leh orang lain. Fungsi tanda tangan adalah untuk memberi cirri atau untuk mengindividualisir sebuah akta.
a. Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan.
b. Akta Dibawah Tangan
Akta dibawah tangan akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.
c. Fungsi Akta
Akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti (probationis causa). Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.
d. Kekuatan Pembuktian Akta
Fungsi terpenting dari pada akta adalah sebagai alat bukti. Tentang kekuatan pembuktian dari pada akta dapat dibedakan menjadi, 1. kekuatan pembuktian lahir, 2. kekuatan formil, 3. kekuatan pembuktian materiil.
1. Kekuatan Pembuktian Lahir
kekuatan pembuktian lahir adalah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir.
2. kekuatan pembuktian formil
kekuatan pembuktian formil itu menyangkut pertanyaan; “benarkah ada pernyataan”. Jadi kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan dibawah akta itu.
3. Kekuatan Pembuktian Materiil
Kekuatan pembuktian materiil ini memberi kepastian tentang materi suatu akta.
e. Kekuatan Pembuktian Otentik
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Kekuatan pembuktian lahir
2. Kekuatan pembuktian formil akta otentik
3. Kekuatan pembuktian materii akta otentik

f. Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan
Pembuktian dibawah tangan dibagi menjadi 2;
1. Kekuatan pembuktian lahir akta dibawah tangan .
2. kekuatan pembuktian formil akta dibawah tangan
Kalau tanda tangan akta dibawah tangan sudah diakui, maka itu keterangan atau pernyataan diatas tanda tangan aitu adalah keterangan dari penanda tangan.
3. kekuatan pembuktian materiil akta dibawah tangan.
g. surat-surat lainnya yang bukan akta
h. salinan
2. Pembuktian Dengan Saksi
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil dipersidangan.
a. Hal dapat diizinkan alat bukti
b. Penilaian alat bukti saksi
c. Siapa yang didengar sebagai saksi
d. Kewajiban seorang saksi
Ada tiga kewajibannya bagi seorang yang dipanggil sebagai saksi, yaitu:
1. Kewajiban untuk menghadap
2. Kewajiban untuk bersumpah
3. Kewajiban untuk memberi keterangan

3. Persangkaan
Persangkaan adalah pembuktian sementara.
Menurut ilupengetahuan persangkaan merupakan bukti yang tidak langsung dan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Persangkaan berdasarkan kepentingan
2. Persangkaan berdasarkan hokum.

4. Pengakuan
Pengakuan adalah sebuah pernyataan yang berisi pengakuan kebenaran.
Pengakuan menurut PITLO adalah pengakuan sebagian yang berkaitan dengan petitum.
1. Pengakuan yang tidak bias dipisahkan
2. Pengakuan diluar persidangan

5. Sumpah
Sumpah adalah pernyataan yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan yang disaksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Ada tiga macam sumpah, yaitu:
1. Sumpah Suplatoir (ps. 155 hir, 182 rbg, 1940 bw)
Sumpah suplatoir atau pelengkap adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar sengketanya.
2. Sumpah Penaksiran (aestimatoir, schattingseed)
kekuatan pembuktian sumpah aestimatoir ini sama dengan sumpah supletoir: bersifat sempurna dan masih memunginkan pembuktian lawan.
3. Sumpah Decisoir
Sumpah decisoir (pemutus) adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya. Pihak yang minta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedang pihak yang harus bersumpah disebut delaat.

6. Pemeriksaan Setempat (Descente)
Pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan diluar gedung atau tempat kedudukan pengadilan.

7. Keterangan Ahli (Expertise)
Keterangan ahli adalah keterangan pihk ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah hakim sendiri.






BAB V
PUTUSAN

Bagi hakim yang mengadili suatu perkara terutama yang di pentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya.
Putusan hakim adalah suatu pernyataan oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, dan bertujuan untuk mengakhiri suatu perkara.
Kekuatan putusan
Ada tiga yaitu:
1. Kekuatan mengikat
Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat: mengikat kedua belah pihak.
a. Teori hokum materiil
Menurut teori ini maka kekuatan mengikat dari pada putusan yang lazimnya disebut “gezag van gewijksde” mempunyai sifat hokum materiil. Disebut teori hokum materiil karena memberi akibat yang bersifat hokum materiil pada putusan.
b. Teori hokum acara
c. Teori hokum pembuktian
d. Terikatnya para pihak pada putusan
e. Kekuatan hokum yang pasti
2. Kekuatan pembuktian
Arti putusan itu sendiri dalam pembuktian ialah bahwa dengan putusan itu telah diperoleh suatu kepastian tentang sesuatu.
3. Kekuatan eksekutorial
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya.
Susunan isi putusan
1. Kepala putusan
2. Identitas
3. Pertimbangan
Pertimbangan atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar dari putusan. Yang dimuat dalam pertimbangan dari putusan adalah alasan-alasan hakim sebagai penanggung jawab.
Beaya perkara ini meliputi:
1. Beaya kantor panitera (grifferechten) dan biaya materai.
2. Biaya saksi ahli
3. Biaya pemeriksaan setempat
4. Gaji petugas yang dirintahkan melakukan panggilan
5. Gaji yang harus dibayarkan pada panitera pengadilan

4. Amar
Amar atau dictum adalah jawaban pada petitum terhadap gugatan
Jenis-jenis putusan
Putusan akhir adalah utusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.
Putusan condemnatoir adaah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.
Putusan constitutive adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hokum.
Putusan declatoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah.
Putusan preptoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir.
Putusan interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian. Putusan insendil adalah putusan yang berhubungan dengan incident.
Putusan provisional adalah putusan yang menjawab tuntutan provisional, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak.
Upaya hokum terhadap putusan
1. Perlawanan (verzet)
Perlawanan merupakan upaya hokum terhadap putusan yang di jatuhkan diluar hadirnya terguagat.
2. banding (upaya hokum)
3. Prorograsi
Prorograsi adalah mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu persetujuan keduabelah pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak berhak memeriksanya.
4. Kasasi
Kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan.
5. Peninjauan kembali
6. Perlawanan pihak ketiga (derdenverzet)

BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN

Jenis-jenis pelaksanaan putusan:
1. Eksekusi putusan hokum yang menghukum piha yang dikalahkan umtuk membayar sejumlah uang.
2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melekukan suatu perbuatan
3. Eksekusi riil

BAB VII
PERWASITAN
Beaya arbitrase terdiri dari
a. Uang pendaftaran
b. Beaya administrasi
c. Biaya pemanggilan
d. Hononarium arbiter
e. Beaya pelaksanaan putusan arbitrase dibebankan kepada pihak yang telah dikalahkan.