العادة محكمة ( Adat Kebiasaan Itu Dapat ditetapakan Sebagai Hukum )

Selasa, 25 Oktober 2011
( Adat Kebiasaan Itu Dapat ditetapakan Sebagai Hukum )

I. PENDAHULUAN
Qowaid fiqhiyah ialah kaidah – kaidah yang meliputi seluruh cabang masalah – masalah fiqh yang menjadi pedoman menetapkan hukum. Semua peristiwa fiqh yang ada nash yang sharih atau yang belum ada nash sama sekali. Selain itu qowaid fiqh itu juga berfungsi sebagai tempat para mujtahid mengembalikan seluruh masalah fiqh juga sebagai kaidah atau dalil untukmenetapkan masalah – masalah baru yang tidak ada nashnya dan memerlukan untuk di tentukan hukumnya.
Qowaid fiqhiyah tidak lain adalah prinsip – prinsip umum yang harus menampung kebanyakan dari bagian – bagian yang terperinci. Oleh karena itu, qowaid itu jumlahnya banyak sekali. Tetapi ada lima kaidah pokok yang terdapat qowaid fiqh yaitu : segala sesuatu tergantung pada niatnya, yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan kebimbangan, keberatan itu bias membawa kepada mempermudah, madharat itu dapat dihapus, adat kebiasaan itu dapat di tetapkan sebagai hukum. Sebagian ulama menetapkan ada 40 buah kaidah – kaidah kulliyah dan 20 buah kaidah – kaidah mukhtalaf.
Dalam makalah ini akan di bahas mengenai kaidah pokok yang kelima yaitu "adat dapat di tetapkan sebagai hukum" yang mana dalam makalah ini akan di rinci lebih dalam mengenai masalah tersebut.

II. PEMBAHASAN
اَلْعَا دَ ةُ مُحَكَّمَةٌ
Artinya : “Adat kebiasaan dapat di tetapkan sebagai hukum.”
Dasar kaidah :
مَا رَ أَي ْ المُسْلِمُوْ نَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
Artinya : "Apa yang di pandang baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah pun baik". ( H.R Ahmad )
Atas dasar itulah adat kebiasaan, adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat Islam serta tidak melanggar dengan ketentuan syari'at dapat di tetapkan sebagai sumber hukum yang berlaku. Sedangkan adat yang menyimpang dari ketentuan syari'at, walaupan banyak di kerjakan orang tetapi tidak dapat di jadikan sumber hukum. Sesuatu di katakana baik, jika tiada nash yang menetapkannya di tentukan oleh penilaian akal dan di terima oleh masyarakat.
1. Pengertian Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Macam-macam 'urf Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 'urf, terbagi atas:
a. 'Urf shahih
Ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara'. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'.
b. 'Urf asid
Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.

2. Uraian Kaidah
Dari kaidah kelima ini dapat di perinci, antara lain :
a. اِسْتِعْمَا لُ النَّا سِ حُجَّةٌ يَجِبُ ا لْعَمَلُ بِهَا
"apa yang biasa di perbuat orang banyak, merupakan hujjah yang wajib di amalkan"
Segala sesuatu yang biasa di kerjakan oleh masyarakat bisa menjadi patokan. Maka setiap anggota masyarakat dalam melakukan sesuatu yang telah terbiasakan itu selalu akan menyesuaikan dengan patokan tersebut atau tegasnya tidak menyalahinya.
b. يُنْكِرُ تَغَيَّرُ الاَ حْكَا مُ بِتَغَيَّرِ اْلاَ زْ مَا نِ
"tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum akibat berubah masa"
Setiap perubahan masa, menghendaki kemashlahatan yang sesuai dengan keadaan masa itu. Hal ini mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan suatu hukum yang di dasarkan pada kemashlahatan. Jadi hukum bias berubah – ubah sesuai dengan perkembangan masa. Hanya saja kaidah ini tidak berlaku dalam lapangan ibadah.
c. ا لْكِتَا بُ كا لْخِطَا بِِ " tulisan itu sama dengan ucapan "
Suatu keterangan ataupun yang lainya yang diterangkan dalam bentuk tulisan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan ucapan lisan.
Masalah ini di bicarakan dalam hukum acara Islam sebagai "bukti tertulis" yang dahulu tidak dapat di terima karena belum banyak orang yang mengenal/mengetahui tulisan atau belum meyakinkan kebenaranya. Tetapi sekarang dengan dasar istihsan, bukti tertulis dapat di terima. Penggunaan kaidah ini lebih banyak menguntungkan bagi kelancaran hidup, karena masa sekarang telah kita kenal adanya ilmu tentang tipe tulisan dan hubungan dengan penulisnya, dalam rangka pembuktian autensitas tulisan tersebut. Qaidah ini banyak sekali di gunakan dalam dunia perdagangan seperti kwitansi, cek, dsb.
d. اَلتَّعْيِيْنَ بِا لْعُرْ فِ كَا لتَّعْيِيْنِ بِا لنَّصِّ
" menentukan dasar urf, seperti menentukan dengan berdasarkan nash "
Suatu penetapan hukum berdasarkan urf yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, sama kedudukannya dengan penetapan hukum yang didasarkan nash. Kaidah ini banyak berlaku pada urf-urf khusu, seperti utf yang berlaku diantara para pedagang dan berlaku didaerah tertentu, dll.

3. Contoh-Contoh
a. seoarang minta tolong kepada seoarang makelar untuk menjualkan motornya, tanpa menyebutkan upah, jika telah laku, maka orang yang menyuruh menjualkan barangnya memberikan komisi kepada makelar sebesar 2 % dari harga penjualan menurut kebiasaan yang berlaku, kecuali ada perundingan lain.
b. Pemesanan barang-barang dengan pembayaran dimuka sebagian harganya dan kemudian dibayar harga keseluruhannya bila barang yang dipesan telah tiba, merupakan muamalah yang dijalankan orang sejak dulu sampai sekarang dan besar manfaatnya bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu diperbolehkan.
c. Penentuan kedewasaan seseorang menurut syari'at diserahkan kepada adat kebiasaan yang berlaku disuatu Negara. Syariat hanya memberikan batasan.

III. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa :
Kaidah pokok kelima : العاد ت محكمة "Adat kebiasaan dapat di tetapkan sebagai hukum" Suatu peristiwa dalam masyarakat, yang biasa di lakukan orang banyak dapat di jadikan sebagai sumber hukum selama tidak bertentangan dengan nash atau syari'at.
Uraian kaidah :
1. اِسْتِعْمَا لُ النَّا سِ حُجَّةٌ يَجِبُ ا لْعَمَلُ بِهَا " Apa yang biasa di perbuat orang banyak, merupakan hujjah yang wajib di amalkan"
2. لاَ يُنْكِرُ تَغَيَّرُ الاَ حْكَا مُ بِتَغَيَّرِ اْلاَ زْ مَا نِ " Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum akibat berubah masa"
3. ا لْكِتَا بُ كا لْخِطَا بِِ " Tulisan itu sama dengan ucapan "
4. اَلتَّعْيِيْنَ بِا لْعُرْ فِ كَا لتَّعْيِيْنِ بِا لنَّصِّ " Menentukan dasar urf, seperti menentukan dengan berdasarkan nash "

IV. PENUTUP
Demikian tugas ini saya buat. Saya yakin bahwa tugas yang saya buat ini masih jauh dari yang namanya kata memadai, karenanya, arahan, kritikan, dan masukan dari Bapak Dosen dan kawan-kawan amat kami perlukan demi kebaikan makalah ini pada khususnya dan kami serta kawan-kawan lain pada umumnya. Semoga apa yang kami lakukan bermanfaat. Amiin

DAFTAR PUSTAKA
Yahya, Mukhtar.1986. Dasar- Dasar Hukum Pembinaan Islam. Bandung : Al-Maa'rif
Umar, Mu'in,dkk.1986. Ushul Fiqh 2 (Kaidah-Kaidah Istinbath dan Ijtihad). Jakarta : Departemen Agama
Adib, Mohammad.1977. Terjemah Al- Faraidul Bahiyyah. Kudus : Menara Kudus
www.scribdcom

0 komentar:

Posting Komentar