MASA IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERCERAI DALAM PERSEPEKTIF GENDER

Senin, 24 Oktober 2011
MASA IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERCERAI DALAM PERSEPEKTIF GENDER

I. PENDAHULUAN
Syari'at Islam sejak kemunculannya telah berusaha mewujudkan keadilan gender. Dalam masyarakat Arab yang memiliki budaya dan tradisi patriarkhi yang sangat kuat. Upaya tersebut diwujudkan dengan adanya aturan dan doktrin-doktrin yang berusaha mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dari posisinya semula. Aturan-aturan syari'at tersebut yang tentu saja disesuaikan dengan konteks ketika itu antara lain adalah mengecam penguburan bayi-bayi perempuan, membatasi poligami, memberikan hak waris, hak-hak sebagai isteri, hak sebagai saksi, dan hak-hak lainnya bagi perempuan. Dengan kata lain syari'at Islam sejak semula telah memberikan hak dan peran kepada kaum perempuan baik di wilayah domestik maupun wilayah publik. Padahal, sebagaimana diketahui, tradisi Arab ketika itu secara umum menempatkan perempuan hampir sama dengan hamba sahaya yang tidak memiliki hak apapun. Kerena itu dari sini dapat dilihat bahwa sesungguhnya semangat dan pesan moral yang dikandung syari'at Islam adalah persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dan berusaha menegakkan keadilan gender dalam masyarakat.

Walaupun pesan universal syari'at Islam adalah keadilan gender, namun banyak penafsir yang memahami teks-teks syari'at yang terdapat dalam al-Qur`an dan Hadis hanya secara tekstual, parsial dan dilepaskan dari konteks turunnya, sehingga menghasilkan interpretasi yang bias gender dan melahirkan aturan dan doktrin ketidakadilan gender. Kenyataannya, hasil interpretasi seperti inilah kemudian yang banyak dipahami dan dipraktekkan dalam masyarakat Islam, termasuk masyarakat Islam masa modern sekarang ini. Namun demikian seiring dengan kemajuan zaman dan maraknya tantangan modernitas, muncul beberapa pemikir Islam yang berupaya melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks syari'at, termasuk teks-teks syari'at yang berkaitan dengan masalah gender.

Salah satu dari sekian banyak masalah adalah mengenai masa iddah bagi perempuan setelah bercerai. Di situ terlihat ada ketidakadilan gender mnganai masa iddah yang hanya dikenakan pada kaum perempuan sedangkan laki-laki tidak ada masa iddah. Dari itu kita dapat melihat dari segi mana keadilan gender itu.

II. PERMASALAHAN
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa masalah mengenai :
• Apakah Gender itu?
• Apa arti dari Masa Iddah?
• Bagaimana Masa Iddah Bagi Perempuan yang Bercerai dalam Perspektif Gender?

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Gender
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”. Kata gender jika ditinjau secara terminologis merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa Inggris Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasioanal dikemukakan oleh Nasaruddin Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi perbedaan dalam hal peran, prilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial. Suke Silverius memberi pengertian tentang gender sebagai pola relasi hubungan antara laki-laki dan wanita yang dipakai untuk menunjukkan perangkat sosial dalam rangka validitasi dan pelestarian himpunan hubungan-hubungan dalam tatanan sosial.
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan pengukuran terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi tersingkirkankan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih diutamakan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran social maupun dalam agama.
B. Pengertian Iddah
Menurut Sayyid Sabiq memberikan pengertian dengan masa lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau bercerai darinya. Para ulama sepakat atas wajibnya iddah bagi seorang perempuan yang telah bercerai dengan suaminya. Mereka mendasarkan dengan firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 228 :
                                             
228. wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'(Quru' dapat diartikan suci atau haidh) tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya(Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan Kesejahteraan rumah tangga (Lihat surat An Nisaa' ayat 34)) dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Rasulullah juga pernah bersabda kepada Fatimah bin Qais Artinya : Beriddahlah kamu dirumah Ummi Kaltsum.” Ada berbagai macam iddah diantaranya cerai mati, cerai hidup, ceri tetapi belum digauli, dsb.

C. Masa Iddah Bagi Perempuan yang Bercerai dalam Perspektif Gender
Ulama fiqih menyatakan bahwa 'iddah adalah tenggang waktu tertentu yang harus dihitung oleh seorang perempuan semenjak ia berpisah (bercerai) dengan suaminya, baik perpisahan itu disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia; dan dalam masa tersebut perempuan tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki lain. [Lihat Zakaria al-Anshariy, Fath al-Wahhab, hlm. 103]. Ketentuan 'iddah ini didasarkan pada Alquran.
      …
"Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru`"(al-Baqarah:228);
           …
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, hendaklah perempuan itu ber'iddah empat bulan sepuluh hari" (al-Baqarah:234);

                      …

"Dan perempuan-perempuan yang putus dari haid (menopause) di antara isteri-isterimu, jika kamuragu-ragu (tentang masa 'iddahnya), maka 'iddah mereka addallah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang sudah haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya" (al-Thalaq:4); dan beberapa ayat lain yang berkaitan dengan 'iddah ini

Namun, Alquran tak pernah menjelaskan sebab atau illat hukum yang mendasari ketentuan 'iddah. Dari itu, para ulama menciptakan argument sendiri bahwa 'iddah disyari'atkan misalnya untuk mengetahui apakah dalam rahim perempuan ada benih atau tidak. Kelompok Syafi'iyyah menyatakan bahwa 'iddah memiliki tiga fungsi yaitu barâ`ah al-rahim(membersihkan rahim), ta'abbud (pengabdian diri kepada Tuhan), dan bela sungkawa atas kematian suami (tafajju'). [Baca, Al-Syarbiniy,Mughniy al-Muhtaj, Juz III hlm. 384].

Akan tetapi, berargumen bahwa 'iddah diundangkan untuk mengetahui kondisi terakhir rahim perempuan agaknya tak bisa dipertahankan. Dengan kecanggihan teknologi modern sekarang, pengecekan terhadap rahim seorang perempuan bukan perkara sulit. Teknologi sudah dapat mendeteksi dengan akurat dan valid tentang ada dan tidaknya benihdalam rahim perempuan.

Karena itu, perlu dicarikan argumen lain dari pensyari'atan 'iddah ini. Yaitu argumen etik-moral. Dengan pertimbangan moral ini, walau dengan kecanggihan teknologi modern keadaan rahim bisa diketahui,'iddah tetap harus dijalankan.

Pertama, dalam kasus karena pasangan meninggal dunia, 'iddah di samping untuk tujuan mengetahui status rahim perempuan juga dimaksudkan sebagai pernyataan sikap berkabung (tafajju') atas kematian mendiang suaminya. Karena itu, selama masa 'iddahnya (4 bulan 10 hari), di samping perempuan tersebut harus membiarkan rahimnya tidak menampung benih baru, yang bersangkutan juga diminta untuk tidak mengekspresikan satu sikap yang mengesankan bahwa dirinya tidak sedang tertimpa musibah.

Dengan alasan tafajju' itu, 'iddah mestinya tidak hanya dikenakan pada seorang isteri, tapi juga pada suami. Baik suami maupun isteri secara etika sosial sangat pantas untuk menjalani masa berkabung. Tidak selayaknya seorang suami yang baru beberapa hari ditinggal mati oleh isterinya melangsungkan perkawinan dengan perempuan lain. Tetapi pada kenyataannya masa iddah ini hanya dikenakan pada kaum wanita sesuai dengan ayat Al-Quran yang disebutkan diatas. Dari sinilah muncul fenomena bias gender tentang masa iddah. Hal seperti in banyak ditemukan dalam hukum Islam yang didalamnya mengandung bias gender.

Walaupun memang kenyataannya sudah banyak laki-laki yang menerapkan konsep bahwa mereka tidak mau melakukan pernikahan dalam waktu tertentu karena berkabung dengan kematian isteri tercinta. Namun, Islam mengajarkan seseorang untuk tidak berlama-lama larut dalam suasana berkabung tersebut. Bagaimanapun ia harus bangkit karena kehidupan harus tetap berjalan. Setelah 'iddah sudah selesai, ia diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menikah dengan laki-laki atau perempuan lain. Kedua, dalam kasus perceraian biasa, fungsi 'iddah adalah membuka kesempatan seluas-luasnya kepada mereka berdua (suami istri) untuk bisa rujuk kembali. 'Iddah adalah medium untuk melakukan refleksi dan evaluasi bagi kedua belah pihak untuk selanjutnya dianjurkan berada kembali dalam ikatan perkawinan. Ini paralel dengan harapan Islam. Bahwa ketika pernikahan sudah dilangsungkan, ia harus diusahakan sekuat mungkin untuk tidak putus.Sebuah hadits menyatakan, perbuatan halal yang paling dibenci olehAllah adalah perceraian. (Abghadl al-halâl 'inda Allah al-thalâq).

Dalam Alquran, pernikahan digambarkan sebagai perjanjian yang kukuh (mitsâqan ghalidhan), . Karenanya tali pernikahan tak boleh diputus kecuali dalam keadaan yang luar biasa. Dan sekiranya perceraian tidak bisa dihindari, Islam masih memberi kesempatan ('iddah) agar keduanya bisa kembali lagi menyatu dalam bangunan rumah tangga. Selama masa penantian ('iddah) itu, sebagaimana "mantan" isteri, maka "bekas" suami juga dilarang menjalin pernikahan, baik secara terang-terangan maupun sembunyi, dengan orang lain.

Dengan argumen ini, kedua belah pihak mestinya sama-sama menjalani masa 'iddah, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, setelah masa 'iddah mereka habis, sementara rekonsiliasi (ruju') sudah tak dimungkinkan lagi, maka perceraian tetap harus dilakukan dengan cara yang baik dan dengan menghadirkan dua orang saksi. Allah SWT berfirman [QS, al-Thalaq [65]:2),
               
"apabila mereka telah mendekati akhir 'iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah."

Perceraian tak boleh dilangsungkan dengan saling mengumbar rahasia dan aib masing-masing. Begitu juga orang-orang yang menjadi saksi perceraian haruslah orang-orang yang saleh, jujur, dan memiliki komitmen kuat untuk melindungi kepentingan pihak yang lemah yang biasanya adalah pihak isteri. Sebab, sepanjang sejarah kemanusiaan,perempuan hampir selalu berada pada posisi yang dirugikan.




IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat diambil beberapa simpulan, yaitu :
• gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan pengukuran terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki.
• Masa iddah adalah masa lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau bercerai darinya. Para ulama sepakat atas wajibnya iddah bagi seorang perempuan yang telah bercerai dengan suaminya. Mereka mendasarkan dengan firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 228.
• Bahwa masa iddah tidak hanya dikenakan pada kaum wanita tetapi juga pada kaum pria dengan berpendapat untuk pernyataan sikap berkabung (tafajju') atas kematian mendiang suami atau istrinya. Karena itu, selama masa 'iddahnya (4 bulan 10 hari) dan juga Islam masih memberi kesempatan ('iddah) agar keduanya bisa kembali lagi menyatu dalam bangunan rumah tangga. Selama masa penantian ('iddah) itu, sebagaimana "mantan" isteri, maka "bekas" suami juga dilarang menjalin pernikahan, baik secara terang-terangan maupun sembunyi, dengan orang lain.






V. PENUTUP
Demikian tugas ini saya buat. Saya yakin bahwa tugas yang saya buat ini masih jauh dari yang namanya kata memadai, karenanya, arahan, kritikan, dan masukan dari bapak dosen dan kawan-kawan amat kami perlukan demi kebaikan makalah ini pada khususnya dan kami serta kawan-kawan lain pada umumnya. Semoga apa yang kami lakukan bermanfaat. Amiinn


DAFTAR PUSTAKA
• Mansour, Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial Cet. I.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

• Echols, John M dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, cet. XII . Jakarta: Gramedia, 1983
• Umar, Nasaruddin . “Perspektif Gender dalam Islam”, jurnal Paramadina, Vol. I. No. 1, Juli–Desember 1998

• http://.www.gender.or.id.

• Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah, Terj. Drs. Muhammad Thalib, Al Ma’arif, Bandung, cet. XX, tth,

• Al-Quranul Karim

• http://www.mail-archive.com/keluarga-sejahtera@yahoogroups.com/msg04228.html

0 komentar:

Posting Komentar